![]() |
Gambar adalah ilustrasi |
Khofifah Indar Parawansa
dalam acara Inspiring Lecture Series Studium General di Gedung Soetardjo
Universitas Jember, Selasa 4/9/2018, menyebutkan bahwa Kabupaten Jember adalah
kabupaten dengan angka kemiskinan pedesaan tertinggi kedua di Jawa Timur setelah
Malang. Kondisi ini justru terjadi ketika iklim investasi sedang meningkat di
Jember. Bahkan Pemkab Jember menyampaikan saat ini secara absolut
terjadi peningkatan nilai tambah di semua sektor, baik menurut harga konstan
maupun harga berlaku, seluruh sektor ekonomi juga mengalami pertumbuhan
positif. Namun bagaimanapun angka kemiskinan di Jember, terutama di pedesaan
masih sangat tinggi.
Secara nasional, sebenarnya gap kesejahteraan
ekonomi masyarakat bukanlah hal yang baru. The
World Bank menyebut tingkat ketimpangan
antara orang kaya dan miskin di Indonesia (gini ratio) semakin melebar
dalam beberapa tahun terakhir. Ketimpangan antara orang kaya dan miskin meningkat dari 0,30% pada 2000 menjadi 0,41% pada 2014
dan melebar menjadi 0,42% pada tahun 2015. Padahal, Indonesia telah mengalami
kemajuan luar biasa selama 15 tahun yakni pertumbuhan ekonomi Indonesia
mencapai 6% selama 10 tahun. Dari sisi kesejangan desa dan kota juga bukan hal yang baru. Data BPS per
Maret 2018 menyebutkan Angka
kemiskinan di desa 13,20% atau hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kota
yang sebesar 7,02%. Padahal hampir 50% penduduk Indonesia tinggal di
pedesaan. Dalam kasus Jember, wilayah kabupaten Jember yang berada di pedesaan
justru lebih luas dari perkotaan. Dari 31 Kecamatan yang ada di Jember,hanya
ada 3 kecamatan yang masuk wilayah kota. Selebihnya masuk daerah pedesaan.
Lalu mengapa kemiskinan pedesaan menjadi sangat tinggi?
Maka perlu kiranya kita mengingat kembali apa penyebab fenomena kemiskinan bisa
terjadi. Secara ekonomi, penyebab kemiskinan ada dua. Bisa karena faktor
kultural atau karena struktural. Kemiskinan
kultural dimaknai kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau
kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah
pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Sedang kemiskinan struktural
adalah kemiskinan yang muncul bukan karena ketidakmampuan si miskin untuk
bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial
dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat
bekerja. Jika kita coba dalami, maka akan sangat terasa bahwa kemiskinan
yang terjadi hari ini adalah kemiskinan struktural yang diakibatkan oleh
penerapan sistem ekonomi kapitalis neoliberal.
Dalam paradigma sistem
kapitalis, pertumbuhan ekonomi dinilai berdasarkan angka Gross National
Bruto (GNP yaitu nilai dari keseluruhan barang dan jasa yang dihasilkan oleh
semua unit ekonomi dalam suatu negara, termasuk barang dan jasa yang dhasilkan
warga negara lain yang tinggal di daerah tersebut. Semakin tinggi angka GNP,
maka diasumsikan angka kesejahteraan juga tinggi, tanpa memperdulikan berapa
kekayaan yang dimiliki oleh masing-masing individu. Apakah kekayaan itu hanya
dikuasai oleh segelintir orang atau
bahkan kekayaan itu dikuasai asing, maka hal tersebut tidaklah menjadi perhatian.
Perhitungan inilah yang kemudian
menjadikan pemerintah lebih memperhatikan sektor-sektor yang bisa meningkatkan
kekayaan negara secara cepat tanpa
memperhatikan lagi apakah kebijakan tersebut justru berdampak buruk kepada
rakyat ataukah tidak. Dari logika berfikir seperti itulah, maka kemudian muncul
kebijakan privatisasi, menggenjot investasi (bahkan investasi asing), pasar bebas yang banyak mematikan industri dalam
negeri, dan berbagai kebijakan lain yang secara nyata telah membuat Indonesia termasuk
Jember menjadi seperti anak ayam yang mati di lumbung padi.
Dalam konteks Jember misalnya, Sebagian besar masyarakat Jember menggantungkan hidupnya dari pertanian.
Rerata lahan yang dimiliki petani Jember hanya 0,3 hektar. Bahkan, sebagian
petani tak memiliki lahan dan memilih menjadi buruh tani. Namun sektor pertanian justru menjadi sektor
yang kurang diperhatikan, padahal sektor ini adalah sektor yang menjadi harapan
sebagian besar masyarakat Jember. Pencabutan subsidi pupuk, maraknya produk
impor dan berbagai kebijakan yang tidak kondusif terhadap sektor pertanian
semakin digulirkan oleh pemerintah. Pembangunan ekonomi yang ada justru
mengarah pada bidang industri, jasa dan pariwisata. Siapa yang akhirnya
diuntungkan? Jelas para investor yang notabene bukan masyarakat pedesaan di
Jember. Ini tentu sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat dimana sektor pertanian, perkebunan dan perikanan di
Indonesia, tidak menjadi fokus pengembangan oleh pemerintah Indonesia sejak era
reformasi paska 1998 hingga saat ini. Belanja sektor ini hanya 2% dari PDB, demikian
disebutkan oleh kata ekonom The Indonesia
Economic Intelligence, Sunarsip kepada Bisnis.com Selasa (20/5/2014)
Kebijakan ekonomi kapitalis,
semakin parah dampaknya ketika dibarengi ketika pemerintah mengadopsi konsep
neoliberal, dimana negara tidak lagi berfungsi sebagai penanggung jawab rakyat,
tetapi negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator, yang tentu
saja kan lebih menguntungkan para pemodal. Upaya-upaya pemberantasan kemiskinan
dengan mengoptimalkan dana CSR perusahaan melalui badan usaha milik desa
(BUMDes) tidak akan menyelaesaikan masalah, bahkan bisa jadi semakin memperkuat
posisi koorporasi sementara rakyat hanya mendapatkan remah-remah dana CSR.
Pemberantasan kemiskinan membutuhkan hadirnya pemetintah secara nyata dalam mengurai
masalah distribusi kekayaan ditengah-tengah masyarakat, bukan hanya sebagai
regulator. Jika tidak, maka sistem ekonomi kapitalis neoliberal ini benar-benar
hanya akan membuat gap antara si kaya dan si miskin semakin lebar. Sungguh
ironis!!
Sehingga, semakin nyatalah
bahwa kemiskinan pedesaan atau kemiskinan secara umum adalah produk dari
penerapan sistem ekonomi kapitalis neoliberal. Sehingga solusi riil yang harus
dilakukan adalah mengganti sistem ekonomi yang telah terbukti mengantarkan kepada
kesejahteraan, yaitu sistem ekonomi Islam. Dimana di dalam Islam, negara
berfungsi sebagai pelindung dan perisai. Negaralah yang bertanggung jawab penuh
terhadap rakyatnya. Negara bertanggung jawab dalam memastikan mekanisme nafkah
dalam Islam bisa berjalan dan negara juga menjadikan sektor-sektor yang vital untuk
masyarakat seperti pendidikan, kesehatan , energi dan lain-lain secara gratis
atau murah. Negara harus memastikan semua penduduknya individu per individu
mampu mengakses sektor ekonomi sehingga bisa memenuhi kebutuhan pokoknya dan
berpeluang untuk mampu memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya, Sungguh
Islam adalah rahmatan lil alamin. Maka mengapa kita berpaling darinya dan
justru mengambil aturan yang lain?[]
0 Comments
Posting Komentar