Berbagai permasalahan
yang mendera belakangan ini telah melewatkan satu kondisi dalam bidang
kesehatan yang sebenarnya tak kalah pelik, yaitu masalah stunting. Meski tak
banyak dibahas media, namun kenyataannya stunting menjadi salah satu masalah
yang cukup menguras perhatian banyak pihak. Sampai sejauh ini, Indonesia belum bisa melepaskan diri sepenuhnya sebagai
negara dengan status gizi buruk. Jumlah balita stunting masih di atas batas
yang ditetapkan WHO. Badan kesehatan dunia ini menetapkan batas toleransi
stunting maksimal 20 persen atau seperlima dari jumlah keseluruhan balita.
Sementara, di Indonesia tercatat 7,8 juta dari 23 juta balita adalah penderita
stunting atau sekitar 35,6 persen.
Meski tidak
termasuk dalam sepuluh besar provinsi dengan kasus stunting terbanyak, balita
di Jawa Timur masih cukup banyak yang termasuk
kategori stunting. Berdasarkan
hasil survei pemantauan status gizi (PSG) tahun 2014-2016, persentase status
gizi stunting di Jawa Timur tercatat usia 0-59 bulan pada tahun 2014 sebesar 29
persen. Jumlah tersebut menurun menjadi 27 persen pada tahun 2015 dan turun
lagi pada tahun 2016 sehingga menjadi sebesar 26,1 persen. Jember merupakan
salah satu kontributor utama penyumbang tingginya angka stunting tersebut,
dengan prevalensi stunting 10,83 persen atau 17.344 balita.
Stunting Bukan Sekedar Problem Kesehatan
Stunting
adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah lima tahun) akibat
dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah
bayi lahir,
akan tetapi kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun.
Balita/Baduta (Bayi dibawah usia
Dua Tahun) yang mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan tidak
maksimal, menjadikan anak lebih rentan terhadap penyakit dan di masa depan
dapat beresiko pada menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya secara luas
stunting akan menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan
memperlebar ketimpangan.Pengalaman
dan bukti Internasional menunjukkan bahwa stunting dapat menghambat pertumbuhan
ekonomi dan menurunkan produktivitas pasar kerja, sehingga mengakibatkan
hilangnya 11% GDP (Gross Domestic Products) serta mengurangi pendapatan pekerja
dewasa hingga 20%. Selain itu, stunting juga dapat berkontribusi pada
melebarnya kesenjangan/inequality, sehingga mengurangi 10% dari total
pendapatan seumur hidup dan juga menyebabkan kemiskinan antar-generasi.
Stunting disebabkan oleh faktor
multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami
oleh ibu hamil maupun anak balita. Intervensi yang paling menentukan untuk
dapat mengurangi prevalensi
stunting perlu dilakukan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak
balita.
Menghadapi
permasalahan stunting, pemerintah telah meluncurkan Rencana Aksi Nasional
Penanganan Stunting pada Agustus 2017, yang menekankan pada kegiatan
konvergensi di tingkat nasional, daerah, dan desa, untuk memprioritaskan
kegiatan Intervensi Gizi Spesifik dan Gizi Sensitif pada 1000 hari
pertama kehidupan hingga sampai dengan usia 6 tahun.
Hal tersebut
menunjukkan bahwa sebenarnya pemerintah tidak tinggal diam terhadap tingginya
kasus stunting, terlebih mengingat dampaknya pada masa depan yang sangat mengkhawatirkan.
Namun sayangnya, melihat beberapa poin dari program pemerintah atasi stunting,
masih terkesan hanya memberikan solusi di permukaan dan belum menyentuh akar
masalah. Meski pemerintah telah mengambil beberapa langkah intervensi
melibatkan lintas kementrian/lembaga, tetap saja ada permasalahan yang belum
mampu terpecahkan. Sehingga terkesan solusi tambal sulam. Hal ini berdampak
pada kurang optimalnya program penanganan stunting bahkan sama sekali jauh dari
kata tuntas. Tulisan ini mencoba melihat dengan lebih mendalam dan mendetail
terkait beberapa poin dari intervensi yang direncanakan pemerintah.
Pertama, Intervensi Gizi
Spesifik.
Ini merupakan intervensi yang
ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan
berkontribusi pada 30% penurunan stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi
spesifik umumnya dilakukan pada sektor kesehatan. Intervensi ini juga bersifat
jangka pendek dimana hasilnya dapat dicatat dalam waktu relatif pendek.
1.
Sasaran
Ibu Hamil. Intervensi ini meliputi kegiatan memberikan makanan tambahan (PMT)
pada ibu hamil;mengatasi kekurangan zat
besi, asam folat, dan iodium; menanggulangi cacingan
pada ibu hamil;
serta melindungi ibu hamil dari Malaria.
2.
Sasaran
Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 Bulan. Intervensi ini dilakukan melalui dorongan inisiasi menyusui
dini/IMD terutama melalui pemberian ASI jolong/colostrum serta mendorong
pemberian ASI Eksklusif.
3.
Sasaran
Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23 bulan. Intervensi ini meliputi kegiatan untuk
mendorong pemberian ASI hingga anak/bayi berusia 23 bulan. Kemudian, setelah
bayi berusia diatas 6 bulan didampingi oleh pemberian MP-ASI, menyediakan obat
cacing, menyediakan suplementasi zink, melakukan fortifikasi zat besi ke dalam
makanan, memberikan perlindungan terhadap malaria, memberikan imunisasi
lengkap, serta melakukan pencegahan dan pengobatan diare.
Kedua, Intervensi
Gizi Sensitif.
Kerangka
ini idealnya dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan diluar sektor
kesehatan dan berkontribusi pada 70% Intervensi Stunting. Sasaran dari
intervensi gizi sensitif
adalah masyarakat secara umum dan tidak khusus ibu hamil dan balita pada 1.000HPK.
Kegiatan Intervensi ini
dilaksanakan melalui beberapa kegiatan yang umumnya makro dan dilakukan secara
lintas Kementerian dan Lembaga. Ada 12 kegiatan yang dapat berkontribusi pada
penurunan stunting melalui Intervensi Gizi Spesifik antara lain:
(1) Menyediakan
dan memastikan akses terhadap air bersih;
(2)Akses terhadap sanitasi; (3) Fortifikasi bahan pangan; (4)Akses kepada layanan
kesehatan dan Keluarga Berencana (KB);
(5) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN); (6) Jaminan Persalinan
Universal (Jampersal); (7) Pendidikan
pengasuhan pada orang tua; (8) Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD) Universal; (9) Pendidikan
gizi masyarakat; (10) Edukasi
kesehatan seksual dan reproduksi
serta gizi pada remaja; (11) Bantuan
dan jaminan sosial bagi keluarga miskin;
(12) Ketahanan pangan dan gizi.
Intervensi Gizi Tak
Sanggup Jadi Solusi
Jika melihat lebih dalam dan teliti
beberapa poin besar pada kedua intervensi gizi
ini, akan nampak beberapa hal yang terlewat.
Kalaupun intervensi gizi sensitif diklaim sebagai langkah solusi jangka
panjang, sejatinya poin-poin yang direncanakan belum mampu menyentuh sama
sekali terhadap akar masalah stunting. Belum lagi kesulitan yang dihadapi dalam
prakteknya di lapangan.
Pertama, Intervensi Gizi
Spesifik
Beberapa faktor yang masih terlewat
dari perhatian pemerintah terkait penanganan stunting pada Intervensi Gizi
Spesifik antara lain :
1. Faktor Ekonomi
Salah satu faktor yang tidak bisa dipisahkan dari
prevalensi stunting adalah ekonomi. Faktor ini bahkan menjadi salah satu akar masalah
tingginya prevalensi stunting. Tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi ekonomi sangat
berkaitan dengan kesanggupan memperoleh makanan bergizi. Meski diklaim makanan
bergizi tidak harus selalu mahal, tapi pada kenyataannya makanan bergizi cukup
banyak menguras anggaran belanja sehari-hari. Sementara harga kebutuhan pokok yang lain makin melambung tinggi,
dari harga sembako, tarif listrik, harga Bahan Bakar Minyak (BBM), dan biaya
kebutuhan sekolah anak-anak. Jangankan makanan bergizi, bisa makan rutin setiap
hari saja sudah dirasakan sebagai keberuntungan. Meski hanya sayur dan lauk
seadanya.Sehingga tak sedikit keluarga yang membuang harapan mendapat makanan
bergizi, demi listrik di rumah tetap menyala, anak-anak tetap sekolah tinggi,
serta kendaraan tetap mendapat bahan bakar untuk dipakai mencari nafkah.
Apalagi semakin hari lapangan pekerjaan semakin sempit.Berakibat pada
pendapatan yang semakin tidak menentu. Sehingga semakin jauh untuk sekedar
bermimpi memperoleh makanan bergizi.
Kondisi serba sulit ini akhirnya mendorong para ibu untuk
bekerja di luar rumah demi membantu keuangan keluarga. Tidak sedikit yang
akhirnya memilih meninggalkan bayinya sekaligus memutus pemberian ASI sebelum
usia anak enam bulan. Meski ada alternatif untuk menyediakan ASI dengan pompa
ASI, tapi masih sedikit yang mampu menjangkau harganya. Ditambah masih ada
anggapan bahwa alternatif pompa ASI itu merepotkan, terlebih jika tempat ibu
tersebut bekerja terkesan “kurang ramah” terhadap kegiatan pompa ASI. Sehingga
kegagalan pemberian ASI Eksklusif bukan sekedar didorong oleh minimnya kesadaran
ibu menyusui, tapi lebih luas dari itu.
Termasuk
saat anak memasuki usia enam bulan, saat seharusnya dimulai pemberian MP ASI.
Kondisi ekonomi seperti ini tentu berpengaruh pada kemampuan ibu memilih menu
MP ASI bagi anaknya. Tuntutan sandar gizi dalam pemberian MP ASI menjadi sulit
dipenuhi. Ditambah maraknya iklan di
media massa tentang produk MP-ASI instan yang cenderung menjadi pilihankarena
harga yang relatif lebih murah dan cukup praktis sehingga cocok bagi ibu-ibu pekerja
dengan jadwal kerja yang padat.
Kehidupan
serba sulit tak jarang menjadi beban berat bagi siapa saja yang merasakannya,
terlebih bagi seorang ibu. Kondisi seperti ini membawa resiko beban mental yang
cukup pelik, bahkan berakibat sebagian ibu mengalami stress hingga depresi.
Padahal faktor psikis memegang peranan sangat penting dalam masa kehamilan dan
menyusui. Ibu yang tenang jiwanya akan mengalirkan energi positif pada janin
yang dikandungnya. Hal ini sangat bagus untuk mendukung tumbuh kembang yang
baik bagi sang calon bayi. Begitu pula ibu menyusui, jiwa mereka yang tenang
berdampak pada kuantitas dan kualitas ASI yang baik sebagai satu-satunya sumber
nutrisi bagi bayi 0-6 bulan.
2.
Tingkat pendidikan
ibu
Ibu dengan tingkat pendidikan yang rendah merupakan salah
satu faktor penentu dalam pemenuhan gizi sebelum, saat, dan pasca kehamilan. Tidak sedikit ibu hamil dengan riwayat pendidikan
rendah, bahkan tidak tuntas pendidikan dasar. Hal
ini bisa terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya
pendidikan setinggi mungkin bahkan untuk perempuan sekalipun, mahalnya biaya
pendidikan tinggi sehingga mencukupkan sampai pendidikan dasar, minimnya
kualitas pendidikan di beberapa daerah tertentu, sulitnya akses pada fasilitas
pendidikan, dan mungkin masih segudang permasalahan pendidikan lainnya.
Seluruh problem pendidikan
berkontribusi terhadap rendahnya pengetahuan ibu hamil tentang gizi, baik
berpengaruh langsung maupun tidak langsung.Seorang
ibu berpendidikan pasti akan memiliki daya tangkap yang baik ketika disuguhi
informasi mengenai kebutuhan gizi pada sebelum, saat, dan setelah hamil atau
saat menyusui. Baik informasi tersebut diperoleh dengan akses mandiri melalui
berbagai media, ataupun informasi yang didapat melalui program-program yang
diberikan oleh petugas kesehatan. Sehingga akan mudah baginya sesuai arahan
dari informasi yang diperolehnya. Ibu menjadi paham makanan apa saja yang
seharusnya dikonsumsi untuk menyiapkan kehamilan, saat hamil, maupun saat
menyusui agar kehamilannya sehat, janin berkembang baik, dan ASI yang
diproduksi sesuai dengan kuantitas dan kualitas yang dibutuhkan bayi.
Ibu juga
akan mudah memahami dan mempraktekkan pembuatan menu MP ASI sesuai standart
pemenuhan gizi anak. Jadi, sejatinya program pendidikan gizi masyarakat yang ada dalam
Intervensi Gizi Sensitifbukanlah solusi mendasar. Sebab, pengetahuan tidak
mungkin bisa dibentuk hanya dalam beberapa kali penyuluhan, melainkan harus
melewati proses edukasi jangka panjang.
Ibu
berpendidikan juga menjadi syarat penting terpenuhinya pendidikan anak sebelum
memasuki usia sekolah. Karena pendidikan paling awal dan paling mendasar bagi
seorang anak terletak pada ibunya. Justru pada usia pengasuhan ibu inilah,
seorang anak membutuhkan banyak sekali informasi mengenai dunia dan kehidupan yang
setiap saat diinderanya. Akan banyak pertanyaan dari anak yang mengharuskan ibu
memberikan jawaban yang tepat dan memuaskan, sebab informasi awal ini akan
terekam dan tersimpan dengan sangat baik di dalam otaknya yang sedang
berkembang pesat. Kelak, informasi awal ini akan menjadi dasar untuk
pengembangan informasi lain yang akan diperolehnya di sekolah maupun di
masyarakat.
Oleh karena itu, proses pendidikan dari ibu menjadi penentu masa
depan sang anak. Pendidikan yang baik ditunjang dengan pemberian gizi yang
tepat dari ibu akan menjadikan fisik dan kecerdasan anak tumbuh dan berkembang
dengan baik pula. Ini akan mengurangi resiko stunting.
Kedua faktor
penting tersebut belum dilibatkan dalam
beberapa poin program penanganan stunting oleh pemerintah, bahkan juga tidak
terbaca pada Intervensi kedua yaitu Gizi Sensitif. Padahal intervensi kedua ini
diklaim sebagai solusi yang berefek luas dan jangka panjang, karena telah
melibatkan berbagai kementrian dan lembaga.
Kedua,
Intervensi Gizi Sensitif
Begitupun pada
poin-poin Intervensi Gizi Sensitif, masih menyisakan banyak masalah yang tak
tersentuh solusi. Antara lain
1.
Akses air bersih
dan sanitasi
Seakan tak pernah selesai, sanitasi dan air bersih selalu
menjadi momok tersendiri bagi warga negeri ini. Meski berbagai solusi telah
ditempuh untuk menyelesaikannya tapi masih ada beberapa hal yang terlewat atau
kurang optimal diupayakan. Akses air bersih dan sanitasi tidak lepas dari
perilaku hidup masyarakat menjaga kebersihan sumber air dan lingkungan. Bisa
dilihat bahwa di perkotaan lingkungan kumuh dan sumber air (sungai) yang
semakin kotor identik dengan pemukiman padat.
Tingginya harga lahan dan biaya
pembangunan rumah membuat banyak orang memilih tinggal di pemukiman yang padat
dengan bangunan rumah yang sangat sederhana, bahkan tidak layak huni. Sayangnya
kondisi ini berakibat pada buruknya kebersihan lingkungan, sehingga pemukiman
padat identik dengan pemukiman kumuh. Termasuk sulitnya akses air bersih akibat
pencemaran sumber air. Bertolak belakang dengan kalangan masyarakat yang
sanggup membeli lahan dan membangun rumah di daerah kompleks, yang biasanya
lengkap dengan layanan kebersihan dan terjaminnya sumber air bersih. Kuat atau lemahnya perekonomian masyarakat berpengaruh
pada akses air bersih dan sanitasi ini.
Eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan
tak jarang berakibat fatal pada kerusakan lingkungan dan tercemarnya sumber air.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa aktifitas eksploitasi kerap terjadi tanpa
kendali kuat dari pemerintah. Meski warga keberatan dan mengeluhkan kondisi
ini, seperti yang sering diberitakan media, namun bisa dilihat tidak ada upaya
serius untuk menindak tegas tindakan pengrusakan lingkungan dan sumber air oleh
perusahaan “nakal” tersebut. Jadi penyediaan dan upaya mempermudah akses
sanitasi dan air bersih juga harus
memperhatikan masalah ini. Upaya pencegahan dengan peraturan yang jelas dan
tindakan sanksi yang tegas bagi perusahaan-perusahaan yang masih melanggarnya.
2.
Fortifikasi bahan
pangan, akses yankes, dan KB
Fortifikasi
bahan pangan yang merupakan program penambahan satu atau lebih zat gizi
(nutrien) ke dalam bahan pangan. Pada program ini dilakukan pada garam, terigu,
dan minyak goreng. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, menjadi tidak
komprehensif jika tidak didukung
perbaikan ekonomi dan tingkat pendidikan.
Penyediaan akses yankes dan KB, termasuk dalam program
ini adalah kesehatan reproduksi remaja. Jumlah anak sebenarnya bukan masalah
serius jika didukung dengan jaminan negara terhadap kebutuhan mendasar tiap
warganya serta kondisi keluarga yang baik untuk tumbuh kembang anak baik fisik
maupun mentalnya. Sementara edukasi kesehatan reproduksi remaja masih belum
didukung dengan program pencegahan menyeluruh terhadap gaya hidup remaja yang serba
bebas, sehingga remaja mudah terjebak seks pra nikah. Selama gaya hidup
hedonisme dan serba berkiblat pada barat belum disentuh oleh pemerintah
langsung melalui program-programnya, maka tujuan kesehatan reproduksi remaja
tidak akan terwujud.
3.
Poin 5 sampai 11
Semua program ini sebenarnya hanyalah solusi cabang yang
berakar pada jaminan negara terhadap kebutuhan mendasar seluruh warganya,
termasuk jaminan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan pokok
sehari-hari.
4.
Masalah ketahanan
pangan
Poin
penting dari Intervensi
Gizi Sensitif ini juga adalah program ketahanan pangan dan gizi. Program ini
dilaksanakan Lintas K/L yaitu Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi, dan
Kemendagri.
Berbicara masalah gizi buruk mau tidak mau terkait dengan masalah
ketahanan pangan. Pangan dan gizi telah menjadi isu dalam konteks mikro, yaitu
berupa kebutuhan di dalam tubuh manusia dan juga dalam konteks makro dimana masalah
pangan dikaitkan dengan aspek-aspek sosial, ekonomi dan juga
budaya.
Oleh karenanya ketahanan pangan yang bagus menjadi sangat berarti untuk
pemenuhan gizi dan kelangsungan hidup manusia. Termasuk dalam hal ini gizi bagi
ibu hamil dan balita.
Problem ketahanan pangan negeri ini terletak pada
distribusi pangan yang kurang merata, terutama pada beberapa daerah yang hasil
buminya memang tidak banyak dan beragam.
Seperti di Papua, kasus gizi buruk disana sangat dipengaruhi oleh ketahanan
pangan yang sangat lemah. Sehingga
banyak warga yang tidak mendapatkan makanan yang layak. Minimnya perhatian pemerintah pada para petani juga masih
acapkali menimbulkan keluhan.
Harga benih dan pupuk dirasa semakin mahal
sementara hasil panen tak bisa dipastikan mampu menutup modal bertani. Belum
lagi teknologi pertanian yang masih jauh terbelakang dibanding negara lain,
membuat pertanian berjalan kurang efektif dan efisien. Ditambah dengan adanya
impor hasil pertanian yang cukup besar di saat petani sedang panen, membuat
produk petani lokal kalah saing di negeri sendiri. Jika kondisi ini masih lepas
dari perhatian pemerintah, maka ketahanan pangan tidak akan bisa tersolusi.
5.
Sumber dana
Seluruh
intervensi dalam Rencana Aksi Penanganan Stunting yang cenderung masih tambal sulam ini semakin
dipersulit dengan kebutuhan dana yang tidak sedikit. Namun sekali lagi, langkah
memperoleh dana yang diambil pemerintah justru beresiko menghadirkan masalah
yang lebih kompleks. Alih-alih
mengoptimalkan dana dari negeri sendiri melalui pengolahan sumber daya alam,
justru pemerintahmengambil
dana pinjaman. Sebagaimana yang diungkap oleh Menteri Koordinator Kemaritiman
Luhut B. Panjaitan, bahwa Bank Dunia telah mengucurkan pinjaman lunak atau soft
loan sebesar US$ 400 juta. Pinjaman ini menurutnya digunakan untuk membantu
Indonesia mengentaskan stunting. Kondisi ini seolah mencoba mengatasi masalah,
tapi justru terjebak dalam masalah lainnya.
Berbagai masalah
yang masih muncul bersamaan dengan upaya penanganan stunting ini tidak lepas
dari dampak penerapan kapitalisme dalam kehidupan di negeri ini. Sistem ini
memang membatasi negara agar tidak terlalu jauh terlibat dalam pengaturan
urusan rakyat. Negara hanya sebatas regulator. Maka tidak
heran, setiap solusi yang ditawarkan masih bersifat permukaan, tambal sulam,
dan tidak komprehensif.
Hal ini semakin
membuktikan bahwa negeri ini butuh solusi alternatif yang mampu memberi
pemecahan yang jauh lebih sempurna. Solusi sempurna tidak akan datang kecuali
hanya dari Sang Maha Sempurna, yaitu Islam. Bertolak belakang dengan
Kapitalisme, Islam dengan kesempurnaan aturannya memiliki solusi kompehensif,
menyentuh akar masalah, dan tentunya paripurna.
0 Comments
Posting Komentar