[INSPIRASI RAMADHAN]
Ajak Diri Memurnikan Tazkiyatun Nafs di Bulan Suci
Oleh : Yulida Hasanah
Pada dasarnya, bulan Ramadhan mampu mengubah persepsi dan perilaku seorang muslim sedemikian rupa. Orang fasik menjadi malu menampakkan kefasikannya; orang munafik menjadi enggan mempertontonkan kemunafikannya; orang zalim pun mengurangi intensitas kezalimannya. Orang shaleh makin bersemangat menambah amal baiknya daripada bulan-bulan lainnya.
Mesjid-mesjid, majelis taklim, forum-forum kajian keislaman, dan sejenisnya penuh sesak dipadati oleh kaum Muslim. Fenomena seperti ini tidak hanya kita temukan di lingkungan masyarakat secara umum, bahkan di kalangan para pejabat dan selebritis pun menampakkan hal yang sama. Media massa pun tidak ketinggalan, terutama televisi, menayangkan acara-acara yang bernuansa bulan Ramadhan, mengurangi tayangan-tayangan yang menjurus pada pornografi dan kekerasan.
Kaum Muslim menyadari, bahwa bulan Ramadhan merupakan momentum yang tepat untuk mensucikan diri (tazkiyatu an-nafs), sehingga di bulan ini mampu tercipta atmosfir keimanan, suasana kebaikan, dan perasaan yang peka terhadap ajaran-ajaran Islam. Namun sayang, fenomena ini hanya ada di bulan Ramadhan saja. Bulan berikutnya, pasca Ramadhan, kembali bergelimang dengan dosa; tidak takut mendemonstrasikan kefasikan, kemunafikan, dan kezaliman; tidak takut kepada murka dan adzab Allah. Kalau begitu, apa pengaruh bulan Ramadhan bagi kita? Bukankah kalau bulan Ramadhan kita jadikan sebagai momentum untuk mensucikan diri, maka pasca Ramadhan mestinya kita bagaikan terlahir kembali, kembali suci? Pasca Ramadhan mestinya ketakwaan seorang Muslim akan semakin bertambah. Ketaqwaan yang lahir dari ketundukan kita pada perintah Allah dan penghindaran diri kita dari perkara yang diharamkan Allah SWT. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Qs. al-Baqarah [2]: 183).
Kekeliruan Memahami Tazkiyatu an-Nafs
Ketika Ramadhan datang, banyak orang berlomba-lomba untuk beribadah dan melakukan perbuatan baik. Sayangnya, ketika Ramadhan telah usai, banyak orang kembali melakukan kemaksiyatan dan kedzaliman. Fenomena tersebut senantiasa berulang dan berulang terus setiap tahun. Akibatnya, Ramadhan sebagai bulan mensucikan diri (tazkiyatu an-nafs) hampir kehilangan maknanya. Sebab, bulan Ramadhan tidak berimplikasi pada peningkatan ketakwaan maupun ketundukkan terhadap syari’at Allah pada diri seorang Muslim dan masyarakat umum di bulan-bulan yang lain.
Secara umum, tampaknya ada kekeliruan dalam memahami tazkiyatu an-nafs, dan kekeliruan ini telah berimplikasi pada anggapan-anggapan berikut ini:
Pertama, pensucian diri hanya pada bulan Ramadhan. Selama bulan Ramadhan kita sanggup menjalankan ketaatan kepada Allah sedemikian rupa, dan sanggup dengan sedemikian rupa pula meninggalkan segala kemaksiatan. Namun pasca Ramadhan kesanggupan tersebut seakan menguap, ketaatan kepada Allah pun surut dan berpaling menuju ketaatan kepada thagut (na’udzubillah).
Kedua, pensucian diri dilakukan dengan ketakwaan yang bersifat individual dan mengabaikan ketakwaan yang total. Aktivitas tazkiyatu an-nafs dianggap sebagai aktivitas jiwa yang menenangkan hati, Sehingga “wajar”lah upaya pensucian diri ini baru mengarah pada perbaikan diri sendiri saja, dengan miningkatkan ketakwaan yang bersifat individual, misalnya memperbanyak ibadah ritual, sholat tarawih, baca al-Qur’an, banyak berdzikir, melatih kesabaran, tidak berbohong, tidak menggunjingkan orang, dan yang semisalnya, yang semuanya terkategori dalam hubungan kita dengan Allah dan hubungan dengan diri kita sendiri. Sedangkan untuk hukum-hukum kemasyarakatan, seperti politik, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain tetap diabaikan. Sehingga pensucian diri ini baru berimplikasi pada perbaikan individu (dan ini pun hanya di bulan Ramadhan saja) dan tidak berimplikasi pada terjadinya perubahan mendasar di masyarakat secara keseluruhan.
Hal mendasar yang menjadi penyebab kekeliruan dalam memahami ‘tazkiyatu an nafs’ ini adalah mendarahdagingnya sekulerisme di tengah-tengah umat Islam. Yang mana, kelahiran sekularisme merupakan bagian dari sejarah feodalisme dan dominasi gereja pada abad pertengahan di Eropa, dan telah menyebar di seluruh belahan dunia, termasuk di dunia Islam. Awalnya sekularisme hanya berbicara tentang hubungan antara agama dan negara, namun dalam perkembangannya pula semangat sekularisme tumbuh dan berkembangbiak ke segala lini kehidupan.
Inti dari paham sekularisme adalah pemisahan agama dari kehidupan. Agama tidak boleh berperanan aktif dalam kehidupan masyarakat dan kenegaraan. Agama masih direduksi sedemikian rupa hingga tinggal di relung-relung individu, dan kisaran aktivitas individual dan ritual saja. Akibatnya, ketika kehidupan telah dikepung dengan krisis multidimensional, tatanan ekonomi kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, sikap sosial egoistik dan individualistik, dan paradigma pendidikan yang materialistik, maka cara pandang terhadap solusi permasalahannya bukan diarahkan untuk menjadikan agama Islam sebagai way of life dalam seluruh aspek kehidupan. Namun, kebanyakan orang hanya berusaha memperbaiki dirinya sendiri secara individual untuk lebih mendekatkan diri pada Ilahi. Semua kondisi buruk yang mengepungnya dianggap sebagai suatu “dinamika” kehidupan yang sudah tidak dapat ditawar lagi. Sekalipun ketika hal itu telah menjadikan dirinya sulit mendapatkan ketenangan dan ketentraman, menjadikan hatinya sangat kering dan gersang, namun dia merasa cukup dengan hanya mencari kedamaian hati untuk dirinya sendiri saja, tidak merasa perlu untuk memikirkan orang lain di luar dirinya. Lebih dari itu, ia tidak merasa perlu untuk memikirkan kondisi masyarakat yang ada, apa lagi untuk melakukan upaya perubahan secara utuh.
Padahal, Allah telah memerintahkan kita untuk terikat kepada hukum syara’, bukan hanya untuk aktivitas individual dan ritual saja, akan tetapi juga untuk seluruh aspek kehidupan, termasuk hubungan antar manusia dalam masyarakat dan negara. Allah SWT berfirman:
“Hukumlah diantara mereka dengan apa saja yang Allah turunkan, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka (dengan meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu.” (Qs. al- Mâ’idah [5] :48).
Kekeliruan memahami tazkiyatu an-nafs kemungkinan juga disebabkan karena pemahaman yang sempit terhadap dalil-dalil syara' yang berhubungan dengan tazkiyatu an-nafs.
Sesungguhnya, Allah SWT memerintahkan setiap Muslim untuk membersihkan qalbunya. Sebab isi qalbu akan dihisab oleh Allah. Abu Hurairah ra menuturkan, Rasulullah Saw bersabda:
Metode Shahih Tazkiyatu an-Nafs
Tazkiyatu an-Nafs secara bahasa terdiri dari dua kata, yaitu Tazkiyah dan an-Nafs. Kata tazkiyah berasal dari pecahan kata: zakka–yazukku–tazkiyah, yang berarti membayar, mensucikan. An-Nafs, bentuk pluralnya al-anfus atau an-nufus, yang berarti jiwa, hati, dan diri seseorang. Menurut istilah, batasan nafsu selalu dikaitkan dengan ruh dan jasad. Sebab, keduanya merupakan unsur pembentuk manusia. Sedangkan Ibn Qayyim, setelah mengemukakan pandangan berbagai kalangan tentang nafsu, berkesimpulan bahwa nafsu merupakan sumber pengetahuan akal. Tazkiyatu an-Nafs sendiri secara istilah adalah mensucikan jiwa (diri) kita dengan Islam. Menurut Said Hawwa yang disyarah dari kitab Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn karya Imam al-Ghazali, tazkiyatu an-nafs adalah membersihkan jiwa dari kemusyrikan dan cabang-cabangnya, merealisasikan kesuciannya dengan tauhid dan cabang- cabangnya, dan menjadikan nama-nama Allah yang baik sebagai akhlaknya, di samping ubudiyah yang sempurna kepada Allah SWT dengan membebaskan diri dari pengakuan rububiyah.
Dari pemaparan di atas jelaslah bahwa makna an-nafs itu sangat luas, tidak dibatasi pada hal yang bersifat individual semata. Atas dasar itu, upaya untuk tazkiyatu an-nafs pun tidak boleh dibatasi pada aktifitas individual atau ibadah ritual saja, dan terlebih lagi tidak dibatasi hanya pada saat bulan Ramadhan saja. Sebab, secara umum telah ada kekeliruan dalam memahami makna tazkiyatu an-nafs, dan kekeliruan ini telah berimplikasi pada kekurangpedulian terhadap kondisi masyarakat, karena kita terlalu sibuk memikirkan diri sendiri, dan hanya memikirkan upaya membersihkan atau memperbaiki diri pribadi, dan tidak merasa bertanggungjawab dengan kondisi masyarakat yang semakin jauh dari penerapan syari’at Islam. Dengan demikian, sudah seharusnya kita memahami bagaimana metode atau jalan shahih bagi tazkiyatu an-nafs itu sendiri, yaitu ;
Pertama, nafsu harus dibentuk dan dibimbing agar tetap menjadi baik dan benar, yaitu dengan selalu mengikatkannya dengan seluruh syari’at Allah dan RasulNya. Hal ini tidak bisa diraih kecuali dengan meningkatkan tsaqâfah Islamiyah. Setiap Muslim mutlak membimbing pemikiran-pemikirannya dengan tsaqâfah Islam, dengan suatu pembelajaran yang menjadikan pikirannya menyatu dengan perasaannya. Dengan begitu, selain akan membersihkan dirinya secara individu dengan meningkatkan ibadah ritual, dan menghiasi diri dengan akhlaq terpuji, lebih jauh lagi, di dalam dirinya akan terbentuk api yang membakar kezaliman, kemaksiatan, kefasikan, kekufuran, dan segala dosa; sekaligus menjadi cahaya yang menunjuki masyarakat kepada hidayah dan risalah agung ini (Islam) hingga Islam diterapkan bukan hanya pada diri sendiri melainkan di tengah-tengah masyarakat secara total.
Kedua, tazkiyatu an nafs diwujudkan dengan taubah yang hakiki dan ketakwaan yang total. Di mana, taubat di sini mesti dilakukan dengan cara memperbanyak istighfar, memohon ampunan Allah akan kelemahan dan ketidakberdayaan kita, menyesali perbuatan masa lampau, dan bertekad serta memohon dikuatkan tekad kita untuk tidak pernah mengulanginya lagi. Hanya saja, kita menyadari sepenuhnya, jika kita hanya mengandalkan pada benteng individu saja, ini sangatlah sulit. Oleh karena itu, kita membutuhkan institusi yang akan senantiasa menjaga masyarakat untuk tetap berada pada koridor syari’atNya. Untuk mewujudkan hal ini, kita pun akan berjuang keras demi tegaknya institusi yang akan menegakkan syari’at Islam di tengah-tengah masyarakat. Institusi itu adalah Khilafah Islamiyyah.
Inilah jalan shohih tazkiyatu an nafs yang semestinya menjadi ajakan diri dalam mengisi ibadah shiam di bulan suci penuh ampunan dan berkah Ilahi. Tak ada alasan untuk tidak mengambil dua jalan penyucian diri agar pribadi dan umat Islam seluruhnya benar-benar terlahir menjadi hamba yang bertaqwa dengan ketaqwaan total setelah sebulan penuh berpuasa. Semoga, bulan ramadhan yang akan kita jalani, menjadi moment membuang sekulerisme yang menjadi penghalang dalam mengajak diri memurnikan tazkiyatu an nafs.
Wallaahu a’lamu bish shawab
Sumber : Fikh Puasa Praktis, Berpuasa Seperti Rasulullah Saw; Muhammad Ramadhanal Muhtasib
0 Comments
Posting Komentar