![]() |
Sumber Foto : middleeasteye |
Oleh : Fathimah Adz
(Writer Millenial)
#InfoMuslimahJember -- Tau nggak, sobat
milenial, apa yang lagi trending banget di social media? Yupz, pasti beranda
instagram kalian juga penuh dengan hastag #muatheye kan? Kalian tau nggak,
sebenarnya apa yang tejadi? Mu’ath Amarneh adalah seorang jurnalis foto
Palestine yang terpercaya. Mu’ath yang saat itu meliput aksi bentrok antara
pemuda Palestine dan militer Israel di daerah Khalil, tepi barat Palestina kini
harus terancam buta dan kehilangan mata kirinya akibat terkena tembakan peluru
tentara zionis Israel pada Jumat, 15 November 2019. Karena itulah, ramai orang
mengadakan aksi solidaritas dengan menggunakan hastag #muatheye atau berfoto
dengan mata kiri yang ditutupi atau diperban.
Awalnya,
eskalasi militer Israel telah dilakukan selama 3 (tiga) hari, yaitu sejak 12 sampai 14
November. Serangan melalui jalur udara diluncurkan di Gaza, dengan roket-roket.
Akibat serangan ini, ada 35 orang yang syahid dalam seharinya. Diantaranya 9
orang anak-anak, dan 3 orang wanita. Belum lagi yang luka-luka dan cedera.
Tercatat ada 41 anak dan 16 wanita yang mengalami luka-luka. Setelah itu,
keesokan harinya, tak cukup dengan
membunuh rakyat palestina, tentara zionis juga menembak Mu’ath yang
notabenenya adalah seorang jurnalis yang harus dilindungi dan dijamin
keselamatannya oleh pihak Negara. Padahal, dalam perjanjian setiap Negara
menyebutkan, bahwa para jurnalis dan wartawan dilarang dihambat dan diberikan
ruang gerak seluas-luasnya untuk meliput kondisi dunia atau negara dan menyampaikannya
ke tengah-tengah publik. Nah ini,
si zionis Israel udah kagak punya
hati nurani banget, sampai-sampai Jurnalis aja di tembak. Wah, masyaAllah. Sadis pake’ banget ya, sobat!.
Apa Kabar Kita, Saudara Mereka?
Kejadian tersebut
pasti membuat kita sebagai manusia (nggak perlu menjadi muslim untuk punya hati
dan sikap peduli) prihatin. Apalagi yang menjadi korban mayoritas adalah
anak-anak yang masih lucu dan ngegemesin.
Banyak juga yang anak yang kehilangan orang tuanya, suami kehilangan istrinya,
atau ibu yang kehilangan anak-anaknya. Coba temen-teman bayangkan ada diposisi
mereka (memang seharusnya kita merasakan apa yang mereka rasakan)? Andai waktu kita se-singkat waktu mereka, andai
malam kita se-pekat malam mereka, atau bahkan andai kehidupan kita
se-mengerikan hidup mereka? Maka, kita bisa apa?
Yang lebih
menyedihkan, apa yang terjadi atas Muslim Gaza berpuluh puluh tahun lamanya
tertindas ternyata tak mampu menggerakkan hati nurani para generasi di
negeri-negeri Muslim lainnya. Berkaca saja dengan diri kita, apa yang sudah
kita perbuat untuk mereka? Kita disini, yang hidup dengan aman dan damai malah
sering terlena, menunda-nunda berbuat taat dan malah nyaman berbuat maksiat.
Jangankan jauh-jauh memikirkan saudara kita di palestina, ujian sekolah aja
kita kadang masih nyontek temen sebelah. Ah!
Padahal, mereka
adalah saudara kita. Anak-anak kecil disana adalah adik-adik kita. Bapak-bapak disana adalah
bapak-bapak kita, yang harus kita perjuangkan kehormatan dan kedamaiannya.
Padahal, generasi masa kini adalah pemimpin esok hari. Namun, kalau generasi
saat ini sudah terbiasa santuy dan males mikir, maka siapa yang akan
menolong dan menyelamatkan umat muslim yang lebih banyak tertindas lagi?
Lantas,
bagaimanakah dengan lembaga-lembaga internasional semacam PBB dan lembaga HAM
lainnya? Mereka pun jelas tak pernah bisa diharapkan. Telah begitu banyak fakta
yang menunjukkan, bahwa hak asasi manusia yang selama ini mereka
gembar-gemborkan ternyata tak berlaku untuk umat Islam. Anak anak kecil jatuh bergelimangan akibat
kebrutalan serangan Israel, tanpa penolong. Ribuan wanita muslim kehilangan
kehormatannya, para lelaki tewas mengenaskan di dalam penjara mereka.
Sungguh, dari
kasus ini kita banyak belajar. Bahwa kepemimpinan sekuler demokrasi neoliberal
telah mencampakkan persaudaraan karena iman. Dan bahwa paham nasionalisme serta
konsep negara bangsa telah memutilasi tubuh umat ini hingga kehilangan rasa
persaudaraan hakiki di bawah akidah Islam. Bahkan kehinaan demi kehinaan dengan
telanjang ditunjukkan oleh para pemimpin Muslim di berbagai negeri Islam. Yang
hanya demi secuil bantuan dan legalitas kekuasaan, mereka rela menggadaikan
harga diri dan kedaulatan. Tak peduli bahwa kelak kepemimpinan mereka dan
tumpulnya kekuasaan mereka dalam melawan kezaliman akan ditanya. Sungguh dari
Palestina pula kita belajar. Bahwa umat ini butuh kepemimpinan yang berpijak
pada akidah Islam. Kepemimpinan yang berfungsi sebagai pemersatu sekaligus
menjadi pengurus dan penjaga umat.
Tagar #muatheye hanyalah suatu campaign kecil dari
jutaan ketidakadilan yang terjadi di Palestine. Maka jangan diam! Segala nikmat
yang Allah berikan pada kita bukan untuk mainan dan tanpa alasan. Allah mau kita
yang berjuang. Tak perlu tempur ke medan juang, kita bisa berjuang lewat
pemikiran, lisan, tulisan,bantuan, gerakan, atau minimallah panjatkan
doa dan harapan. Apapun itu, lakukan!
Wallahu
a’lam bish showwab
0 Comments
Posting Komentar