Oleh : Watini Alfadiyah, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan)
“Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah….penuh nanah
Seperti udara….kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas….ibu….ibu”
Penggalan lirik syair lagu karya Iwan Fals diatas
mengisahkan tentang perjuangan seorang ibu dalam membahagiakan anaknya. Yang
patut kita hargai disaat moment memperingati
Hari Ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember, dimana ibu adalah sosok
perempuan yang sangat berarti dalam kehidupan ini.
Perempuan yang berarti klo kita maknai sosoknya di era disrupsi RI 4.0,
yakni kaum perempuan yang terlibat dalam roda perekonomian baik dikalangan
emak-emak biasa, emak-emak milenial ataupun para sosialita disini sangat punya makna.
Terlebih di era ekonomi digital serba online yang telah merambah diberbagai
lini kehidupan akan memudahkan perempuan untuk diberdayakan.
Semisal kontribusi
perempuan banyak dijumpai disebuah instansi/perkantoran, pabrik-pabrik,
pertokoan, pengrajin/usaha mandiri, dan sebagainya, dimana yang belum
terlibatpun diajak untuk berperan dalam perekonomian agar berdaya. Seolah
perempuan yang bekerja dan mandiri, adalah perempuan yang cerdas dan maju.
Sebaliknya, perempuan yang hanya dirumah sebagai ibu rumah tangga adalah
perempuan yang kurang berdaya bahkan dipandang sebelah mata. Inilah opini yang
terus menerus digencarkan dikalangan
perempuan hingga terwujud pemberdayaan.
Pemberdayaan [empowerment] perempuan adalah
usaha sistematis dan terencana untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender
dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Pemberdayaan perempuan “ sebagai
sumber daya insani, potensi yang dimiliki perempuan dalam hal kuantitas maupun
kualitas tidak dibawah laki-laki. Namun kenyataannya masih dijumpai bahwa
status perempuan dan peranan perempuan dalam masyarakat masih bersifat
subordinatif dan belum sebagai mitra sejajar dengan laki-laki”. Karenanya
tujuan pembangunan pemberdayaan perempuan adalah untuk meningkatkan status,
posisi dan kondisi perempuan agar dapat mencapai kemajuan yang setara dengan
laki-laki.
Para pegiat kesetaraan gender berdalih
bahwa pemberdayaan perempuan akan membuat posisi perempuan mandiri dan tidak
terdiskriminasi. Perempuan diposisikan sebagai pejuang keluarga karena
menggunakan pendapatannya demi menyejahterakan keluarganya. Bahkan perempuan
berperan sebagai pencari nafkah utama, karenanya perempuan dianggap penting
dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi
sehingga terwujud kesejahteraan suatu bangsa. Demi tujuan itu, mereka
menciptakan definisi ‘kekerasan ekonomi ringan’. Seseorang terkena delik itu
bila sengaja menjadikan perempuan bergantung atau tidak berdaya secara ekonomi
jika tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya hingga dinyatakan keluarganya tidak
sejahtera.
Agenda pemberdayaan perempuan untuk
kesejahteraan bangsa tidak lepas dari implementasi program Millenium
Development Goals [MDGs]. Melalui parameter pencapaian MDGs, khususnya tujuan
pencapaian pendidikan dasar serta mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan, negara diarahkan untuk menyediakan tenaga kerja perempuan sesuai
tuntutan pasar dalam rangka menyambut Revolosi Industri [RI 4.0].
Esensi Pemberdayaan Perempuan
Perempuan memang bisa diberdayakan
dalam rangka meraih kesejahteraan suatu bangsa. Namun
dalam bingkai ideologi kapitalisme pemberdayaan perempuan justru fokus pada
ranah publik dan perekonomian. Padahal sesungguhnya pemberdayaan yang utama
adalah sebagai ibu untuk anak-anaknya[ummun] dan pengurus rumah tangganya[rabbatul
bait]. Sebagaimana Rasulullah saw bersabda : “Seorang wanita adalah pengurus
rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban
atas kepengurusannya.”[HR Muslim]
Saat ini pemberdayaan yang alami sesuai
dengan fitrahnya perempuan justru tergeser dan teralihkan melalui pemberdayaan
ekonomi perempuan dengan dalih untuk mengentaskan kemiskinan demi kesejahteraan
bangsa. Padahal, kemiskinan merupakan masalah global akibat ketimpangan akses
ekonomi yang dihadapi si lemah versus si kuat baik dalam tataran negara,
masyarakat ataupun individu. Lalu kenapa
perempuan yang harus berkorban
meninggalkan fitrahnya sebagai ummun wa rabbatul bait?
Masalahnya, arus pemberdayaan perempuan
dalam bingkai ideologi kapitalis justru menarik para ibu ke ranah publik dengan
dalih kebebasan HAM demi kesetaraan untuk meraih kesejahteraan. Akibatnya ibu
tidaklah bisa menjalankan secara optimal apa yang menjadi kewajibannya[ummun wa
rabbatul bait], sehingga bukanlah kesejahteraan yang didapat tetapi justru
kehancuran.
Perempuan diperbolehkan untuk menjalankan
aktivitas di ranah publik yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, namun
tidak boleh diposisikan secara mutlak sebagaimana laki-laki hingga akhirnya
keluar dari fitrahnya. Dan penyelesaian yang akan menuntaskan masalah
kesejahteraan ekonomi bukanlah pemberdayaan perempuan di ranah publik, tetapi
tidak lain dengan menghilangkan penyebab utamanya yaitu hapus sistem kapitalis
kemudian ganti dengan sistem islam dalam bingkai daulah khilafah islamiyah.
Karena pada dasarnya, tatkala menegakkan sistem islam dalam institusi khilafah, selain konsekwensi dari keimanan, juga akan
merealisasikan kesejahteraan semua bangsa sebagaimana bukti sejarah peradaban
islam yang jaya selama 14 abad lamanya.
Allahu a’lam bi as-showab.
#HidupBerkahDenganSyariahKaffah
#SyariahSejahterakanPerempuan
#hariibu
#jember
#gender
#jemberbanget
#jemberhits
#kajianjember
#kajianislamjember
0 Comments
Posting Komentar