![]() |
Sumber Foto : Mojok |
Oleh : dr. Erna Noviyanti
#InfoMuslimahJember -- Setelah diksi mudik-pulang
kampung, masyarakat kembali dibingungkan dengan diksi perang-damai Corona yang
digulirkan oleh pemerintah.Pernyataan pemerintah untuk hidup damai dengan
Corona ini memicu berbagai persepsi maksud dibaliknya. Melihat arah dan
inkonsistensi kebijakan Pemerintah, tidak salah jika ada pihak yang menilai
bahwa pernyataan ini memperlihatkan ketidakseriusan Pemerintah dalam menangani
pandemi ini. Rakyat diminta untuk menyesuaikan kehidupannya dan tetap produktif
di tengah wabah, tetapi di sisi lain Pemerintah dinilai tidak serius di dalam
memutus penyebaran Covid-19.
Mulai dari tidak adanya
transparansi data terkait Covid-19,
sehingga menimbulkan tuntutan transparansi dari berbagai pihak. Kapasitas alat tes diagnostik yang tidak memadaiuntuk masyarakat luas. Padahal
diagnostik adalah garis pertahanan pertama terhadap penularan penyakit,
khususnya Covid-19 yang bisa ditularkan oleh orang tanpa gejala. Di sisi lain,
komersialisasi alat tes diagnostik menjadikannya lebih memihak kepada orang yang
berduit dan kalangan pejabat. Belum lagi keterbatasan sarana dan
prasaranapelayanan kesehatan dalam menangani Covid-19, menambah daftar
ketidakseriusan Pemerintah dalam menanggulangi pandemi ini. Seruan damai dengan
corona sama saja Pemerintah membiarkan tenaga medis menghadapi pandemi dan
rakyat menjadi korban tanpa perlindungan.
Dengan
menggulirkan diksi yang kontradiktif, hidup berdamai dengan Corona, semakin
memperlihatkan Pemerintah lebih memilih menjaga pertumbuhan ekonomi sesuai
dengan target dibandingkan nyawa rakyat. Sejak awal menyikapi pandemi Covid-19, urusan ekonomi menjadi perhatian
utama dari pada mengantisipasi penyebaran virus. Ketika kasus sudah mulai merebak di
sejumlah negara, pada Februari pemerintah memberikan stimulus Rp 8,5 triliun
untuk memperkuat ekonomi dalam negeri melalui sektor pariwisata. Pada
pertengahan Maret, pemerintah kemudian meluncurkan stimulus lanjutan senilai Rp
22,5 triliun. Stimulus ini untuk menopang sektor industri dan memudahkan
ekspor-impor. Pemberlakuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar)
maupun pembatasan mobilitas lainnya jelas berdampak pada pertumbuhan
ekonomi.
Ironisnya di tengah gelombang PHK besar-besaran
akibat pandemi, pemerintah justru berencana mendatangkan 500 Tenaga Kerja Asing
(TKA) asal Tiongkok ke Sulawesi Tenggara. Ditambah dengan adanya
pembahasan RUU Omnibus
Law Cipta Kerja (Ciptaker),yang dinilai merugikan pekerja lokal dan
menguntungkan pekerja asing. RUU ini juga dianggap memberikan kelonggaran yang
berlebihan kepada
pengusaha dan investor asing yang bisa mengancam kedaulatan ekonomi.
Kebijakan-kebijakan tersebut membuat pemerintah
Indonesia nampak sangat inferior jika berhadapan dengan investor asing. Hilangnya
kepedulian Pemerintah kepada rakyatnya di
tengah pandemi Covid-19, tampak
keberpihakannya kepada kepentingan korporasi dan arahan asing.
Dalam Islam, penguasa memiliki dua
fungsi utama, sebagai raa’in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung).
Tanggung jawab besar
berada dipundaknya untuk
mengurusi kebutuhan dan melindungi orang-orang yang ada di bawah kekuasaannya,
karena semua itu akan dipertanggungjawabkan kepada Allah. Jaminan pengurusan dan perlindungan atas dasar keimanan tersebut dibarengi dengan penerapan syariat Islam. SyariatIslam diturunkan oleh
Allah sebagai solusi bagi seluruh permasalahan kehidupan manusia,
baik itu yang berkaitan dengan politik, ekonomi,
kesehatan, pendidikan, sosial, hukum, dan lain sebagainya.
Itulah mengapa, sepanjang khilafah tegak selama belasan abad, umat Islam
hidup dalam kesejahteraan yang tidak pernah dicapai oleh peradaban lainnya. Umat Islam tampil sebagai umat terbaik, bahkan menjadi kiblat peradaban dunia. Sejarah
mengukir, ketika wabah
menimpa kaum muslim, khilafah dibawah pimpinan khalifah segera melakukan berbagai upaya untuk
memutus rantai penyebaran dan memastikan kebutuhan dasar serta keselamatan
rakyat tetap terjaga. Negara mengerahkan seluruh kemampuannya untuk bisa
memenuhi segala apa yang dibutuhkan rakyatnya, termasuk di dalamnya sarana-prasarana kesehatan dan mendorong berbagai riset untuk kemajuan
pelayanan kesehatan. Sehingga fungsi pengurus dan pelindung betul-betul dilaksanakan secara optimal,
pelayanan kesehatan diberikan gratis dan berkualitas untuk semua rakyatnya
tanpa ada perbedaan kelas. Sistem kesehatan Islam ini disokong oleh sistem
ekonomi Islam, yang pendanaannya anti defisit dan tidak dibebankan
kepada rakyat.
Sangat berbeda dengan kepemimpinan berparadigma Kapitalisme, yang lebih megutamakan hawa nafsu dan kekuasaan. Pemimpin hanya berfungsi sebagai
fasilitator, memberikan fasilitas bagi orang-orang bermodal untuk menguasai
negara. Maka tidak mengherankan jika menjual aset-aset negara, melakukan
privatisasi, serta
membuka keran investasi yang semuanya berpihak kepada kepentingan kapital (pemodal
besar) dan asing. Dengan adanya pandemi, Allah semakin menunjukkan kebobrokan sistem Kapitalisme.
Bermula dari krisis masalah kesehatan, pandemi juga telah memicu krisis
finansial dan krisis ekonomi. Hanya sistem Islam yang mampu menangani pandemi
dan dampaknya di saat negara-negara penganut sistem Kapitalisme dibuat tak
berdaya. Masihkah kita berharap sejahtera di sistem
Kapitalisme?
0 Comments
Posting Komentar