Ayu Fitia
Hasanah S.Pd
(Pemerhati Pendidikan dan Budaya)
Pandemi covid 19 berdampak luar biasa
bagi dunia pendidikan. Aktivitas belajar di sekolah serentak diberhentikan
sebagai pencegahan menularnya virus corona. Sebagai gantinya, diterapkan BDR
alias belajar di rumah dengan memanfaakan perangkat digital. Akibatnya, pihak
sekolah, guru, siswa juga orang tua harus beradaptasi agar proses belajar mengajar
tetap berjalan.
Sayangnya, dalam proses adaptasi ini
timbul banyak masalah, diantaranya strategi yang belum matang dari pihak
sekolah, guru yang belum kompeten dalam memanfaatkan perangkat digital sebagai
media belajar, siswa yang stres dan kebingungan akibat pemberian tugas oleh
guru sebagai ganti kegiatan belajar mengajar, tidak semua guru, siswa, dan
orang tua memiliki ataupun mampu membeli perangkat digital yang mendukung
seperti laptop, gawai, serta banyak orang tua yang masih gagap menggunakan perangkat
digital. Selain itu, tersedianya jaringan belum merata ke semua daerah,
walhasil banyak daerah yang sekolahnya kesulitan menjalankan kegiatan belajar
secara daring. Beberapa masalah ini disampaikan oleh analisDirektoratSekolahDasarKemdikbudyang
mendapatbanyakaduanmelaluitimcall centre juga berbagai grup (https://m.mediaindonesia.com).
Namun berbagai praktik yang dilakukan
guru sebagai upaya mandiri dalam menjalankan kegiatan belajar mengajar dinilai sangat inovatif dan kreatif. Hal ini berdasar pada postingan digrup-grup guru dan
kepala
sekolah
seluruh
Indonesia,
yang mana terdapat guru
lihai
melaksanakan
diskusi
dengan
siswa
menggunakan
aplikasi
zoom, webex, hangout, portal 'Rumah Belajar Kemdikbud' dan
sebagainya. Penerapan
pembelajaran PJOK yang
bisa
tetap
dilaksanakan di rumah
siswa
masing-masing
dengan
pantauan
atau
pendampingan guru secara
online melalui berbagai aplikasi vicon (video
conference). Selain itu, dinilai kreatif karena guru yang memiliki
beragam
cara
untuk
memberikan
variasi
tugas
kepada
siswa yang dinilai
membuat
pembelajaran di rumah
tidak
membosankan
yakni
tugas yang tidak
hanya
berkutat
pada
teori
atau
penugasan
tertulis
saja, tetapi
juga
tugas yang bisa
memunculkan
penumbuhan
karakter
seperti
melaksanakan
ibadah, melaksanakan
tugas
dalam
kehidupan
sehari-hari
untuk
membantu orangtua (memasak,
membersihkan rumah, dsb). Hal ini dianggap
sebagai gayung bersambut dan akselerasi implementasi atas kebijakan Kemendikbud sebelumnya yaitu terkait “MerdekaBelajar”
(https://m.mediaindonesia.com).
Merdeka belajar diartikan yakni ketika siswa bisa mengakses sumber belajar sesuai dengan karakteristik dan keunikan siswa, guru fleksibel
memberikan
tugas
dan
penilaian
sesuai
dengan
tema
namun
bervariasi
sesuai
dengan
keberagaman
siswanya. Ini
terjadi dalam praktik pembelajaran daring akibat pandemi. Sekolah memiliki
kemerdekaan
dalam
melaksanakan
penilaian
pada
siswa
karena
Kemendikbud sudah mengeluarkan kebijakan meniadakan ujian sekolah. Sekolah
bebas
melakukan
penilaian
jarak
jauh
sesuai
strategi yang dimiliki
sehingga
sekolah
tidak
perlu
merasa
ada
belenggu. Penilaian
tersebut
baik yang akan
digunakan
sebagai
nilai
akhir semester atau
kenaikan
kelas
maupun
penilaian
kelulusan
bagi
siswa
kelas 6 yang akan
melanjutkan
pada
jenjang
berikutnya. Begitu
juga guru merdeka
melaksanakan
metode
dan
strategi
pembelajaran
dan
penilaian
sesuai
keunikan
siswa
masing-masing
dan
latar
belakang
orang
tua.
Penilaian terhadap kreativitas
pengajaran melalui grup guru atau kepala sekolah sejatinya hanya sebagian kecil
dari fakta kondisi pendidikan di Indonesia khususnya saat pandemi. Bagi sekolah
yang berkualitas atau khususnya di perkotaan, sangat memungkinkan menjalankan
kegiatan belajar secara daring dengan segala inovasi dan fasilitas yang
terpenuhi. Tetapi, bagi sekolah di daerah-daerah pedesaan pembelajaran secara
daring faktanya tidak bisa dilakukan karena keterbatasan jaringan, perangkatt
digital, kemampuan orang tua dalam membeli atau menggunakan teknologi digital
dll. Karena itu sangat dangkal menilai kualitas efektivitas pembelajaran daring
dalam pendidikan Indonesia saat pandemi ini sebatas melihat postingan-postingan
di grup guru atau kepala sekolah, karena belum tentu mewakili seluruh
sekolah-sekolah yang ada di Indonesia.
Mengenai dianggapnya kreativitas belajar
mengajar secara daring sebagai akselerasi implementasi kebijakan “merdeka
belajar”, hal ini perlu dikaji lebih dalam. Di satu sisi memang “merdeka belajar”
memberi kemudahan bagi beberapa pihak, yakni pemerintah yang tidak perlu
terlalu memeras keringat untuk memikirkan strategi terbaik bagi pendidikan di
seluruh Indonesia saat pandemi, karena diserahkan pada pihak sekolah dengan
menyesuaikan pada kompetensi
guru, siswa, orangtua, maupundarisarana yang dimiliki
setiap sekolah. Bagi sekolah “merdeka belajar” memberi kemudahan untuk bebas melakukan penilaian jarak jauh sesuai strategi yang dimiliki
sehingga
sekolah
tidak
perlu
merasa
ada
belenggu.
Bagi guru “merdeka belajar” memberikan kemudahan untuk bebas melaksanakan metode dan strategi pembelajaran dan penilaian sesuai keunikan siswa masing-masing dan latar belakang orang tua. Bagi siswa “merdeka belajar”
memberikan kemudahan mengakses
sumber
belajar
sesuai
dengan
karakteristik
dan
keunikan
siswa.
Di sisi lain, bukankah pemerintah
sebagai perangkat negara perlu untuk memikirkan secara serius kondisi
pendidikan di negaranya khususnya saat pandemi agar kebijakan BDR dengan cara
daring benar-benar bisa dijalankan oleh semua sekolah. Misalnya memastikan
ketersediaan jaringan dan sarana prasarana hingga ke pelosok-pelosok desa bagi
sekolah , guru, dan siswa atau orang tua, memberikan sosialisai dan pelatihan
bagi guru dan siswa, merumuskan stretegi belajar dan mekanisme belajar yang efektif,
dalam artian tetap ada penjelasan materi dan umpan balik sebagaimana pada
kegiatan belajar secara langsung. Karena itu, tidak bisa hanya diserahkan pada
pihak sekolah. Hal ini tidak bisa dirasakan dalam sistem pendidikan dalam
politik pemerintahan demokrasi kapitalisme, karena yang menjadi asas sekaligus
pertimbangan dalam melaksanakan tugas-tugasnya adalah kepentingan bukan
layanan. Dalam kapitalisme hajat hidup seperti pendidikan menjadi barang
komoditas, karenanya mustahil memikirkan dan melayani secara serius nasib
rakyat agar pendidikan terpenuhi dengan baik. Hal ini juga terbukti dari adanya
segmentasi sekolah bagi orang yang sangat mampu dan kurang mampu.
Berbeda dengan sistem pendidikan dalam
politik Islam, karena politik dalam Islam adalah pengaturan segala urusan umat
dengan ideologi Islam oleh negara, maka negara bertanggung jawab memastikan
terpenuhinya pendidikan sebagai salah satu hajat hidup rakyat. Karena itu,
negara tanggap terhadap peristiwa yang menimpa umat misalnya segara melaksanakan
karantina wilayah saat ada wabah, tanggap menganalisis dampak yang terjadi
misalnya memastikan kemajuan teknologi dirasakan rakyat secara merata, dan
sigap memberikan kebijakan yang memenuhi segala kebutuhan umat misalnya dengan merancang
strategi BDR serta sosialisasi terhadap guru, orang tua dan siswa. Dengan
begitu, akses pendidikan dapat dirasakan oleh semua rakyat. Disamping arah dan
tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islam dan melahirkan
pelajar-pelajar menjadi ahli di bidang keilmuan tertentu, maka dipastikan
pembelajarannya tidak sekedar pemberian tugas namun pembelajaran yang
nilai-nilai ajarannya membekas dalam jiwa-jiwa pelajar.
0 Comments
Posting Komentar