![]() |
Gambar adalah ilustrasi. Sumber : Gambar Rumah |
Oleh: Laily Chusnul Ch. S.E.
(Pemerhati Sosial Ekonomi)
#InfoMuslimahJember -- Memiliki rumah adalah impian bagi setiap orang. Sebab rumah adalah
sebuah bangunan yang mempunyai fungsi sebagai tempat tinggal dan berkumpul
suatu keluarga. Rumah merupakan tempat seluruh anggota keluarga berdiam dan
melakukan aktivitas yang menjadi rutinitas sehari-hari. Rumah bisa menjadi
sumber kedamaian, inspirasi, dan energi bagi pemiliknya. Sehingga rumah menjadi
kebutuhan dasar bagi setiap orang yang harus terpenuhi. Bila dia tidak mampu maka
kewajiban pengadaan rumah beralih menjadi tanggung jawab negara/pemerintah.
Salah satu program yang diluncurkan oleh Bupati Faida adalah program
Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) atau Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) di
Desa Sumbersalak, Kecamatan Ledokombo, Kabupaten Jember Jawa Timur. Namun dalam
perjalanan realisasi program ini diduga dijadikan ajang bancakan oleh oknum (SuaraIndonesia.co.id).
Menurut kesaksian warga, bahan yang dikirim diduga sangat tidak
sesuai dengan harapan sebagaimana disosialisasikan oleh Bupati Faida. Menurut
salah seorang penerima RTLH, bahan bangunan yang mereka terima berupa batako
1000 biji, semen 15 sak, besi yang sangat tidak standart dan jumlahnya kurang
untuk ukuran standart rumah 6,5 x 4,5 meter, kayu usuk satu dengan ukuran tidak
sampai 5 meter, serta keramik untuk lantai rumah. Setelah bangunan itu selesai
dan berdiri, bangunan rumah tersebut justru membahayakaan. Sebab rumah tersebut
dibangun tanpa pondasi. Tragis sekali! Bagaimana mungkin bangunan bisa berdiri
kokoh tanpai disertai pondasi?
Sementara Kepala Desa Sumbersalak, Suryono mengaku tidak mengatahui
secara jelas terkait bantuan RTLH itu. Sebab pihaknya tidak pernah diajak
musyawarah dan koordinasi baik pengusulan maupun saat realisasi. Padahal
anggaran pembangunan bantuan program RTLH untuk masing-masing rumah senilai Rp
17.500.000 masuk melalui rekening penerima dengan rincian Rp 15.000.000 untuk
bahan dan sisanya untuk ongkos jasa tukang.
Budaya korupsi di negri ini memang telah menjadi wabah yang paling
banyak diminati untuk dilakukan. Kasus korupsi hampir terjadi di semua lini.
Tak hanya terjadi di pusat, namun juga daerah dan bahkan tingkat desa hingga
RT/RW. Birokrasi yang sekuler menghasilkan orang-orang yang tega mengambil
harta yang seharusnya menjadi hak si miskin.
Akibatnya, pengentasan kemiskinan tak pernah menuai hasil nyata. Asian
Development Bank (ADB) melaporkan 22 juta orang Indonesia masih menderita
kelaparan di era Jokowi (CNN Indonesia, 6/11/2019). Semua ini dikarenakan
kapitalisme telah mencengkeram Indonesia sehingga ukuran keberhasilan
pembangunan didominasi ukuran materi.
Misalnya dalam hal anggaran, keberhasilan sebuah pemerintahan (desa,
daerah, maupun pusat) diukur dari serapan anggaran. Jika anggaran terserap
100%, pejabat tersebut dianggap berhasil. Tanpa memastikan apakah anggaran
tepat sasaran dan tepat penggunaan ataukah tidak. Akibatnya, anggaran banyak
dimanipulasi.
Pemerintah pusat juga tak memosisikan diri sebagai pengurus (raa’in)
dan penanggung jawab (mas’ul) rakyat. Pemerintah memandang rakyatnya
secara global, khas pandangan kapitalis. Tanpa mau mendetail kondisi riil di
lapang dan memastikan bahwa setiap individu rakyat tercukupi kebutuhan dasarnya
secara layak.
Sekulerisme memperparah masalah ini dengan menghasilkan aparat
negara yang sekuler. Tak ada rasa takut dan malu pada Allah SWT ketika mereka
mengambil harta ghulul (harta yang bukan haknya). Kalaupun ada
sanksi bagi pelaku korupsi, bentuknya tak mampu mewujudkan efek jera pada
pelaku dan orang lain. Berbagai aturan dibuat justru untuk memanjakan napi
koruptor.
Maka tak usah bermimpi kasus korupsi akan berhenti, jika kapitalisme
sekuler masih diterapkan di negeri ini. Satu-satunya solusi adalah menerapkan
syariat Islam.
Dalam sistem Islam yakni Khilafah, akuntabilitas anggaran negara
akan terjaga karena ketakwaan para pejabat Khilafah. Sebagai contoh adalah
kejujuran Khalifah Umar bin Khaththab dalam mengelola kas negara (Baitul Mal). Cara
pandang islam terhadap dunia adalah pandangan yang khas. Dunia bagi para pejabat
Khilafah hanya diletakkan dalam genggaman, bukan dalam hati. Mereka meyakini
firman Allah surah Al Fajr ayat 14 yang artinya: “Sesungguhnya Tuhanmu
benar-benar mengawasi.” Juga dalam surah Al Hadid ayat 4 yang
artinya: “Dia (Allah) bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Khilafah juga akan memberikan gaji yang layak bagi pejabat pemerintahan
di dalamnya. Gaji mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder,
bahkan tersier. Di samping itu dalam pemerintahan Islam biaya hidup murah
karena politik ekonomi negara menjamin terpenuhinya kebutuhan seluruh rakyat.
Kebutuhan kolektif, akan digratiskan oleh pemerintah seperti pendidikan,
keamanan, kesehatan, jalan dan birokrasi. Sedangkan kebutuhan pokok yaitu sandang,
pangan dan papan bisa diperoleh dengan harga yang murah. (Abdurrahman al
Maliki, Politik Ekonomi Islam, Bangil: Al Izzah, 2001)
Keagungan sistem islam mampu menyejahterakan manusia, dan tidak
hanya muslim saja, baik dia miskin maupun kaya. Sistem yang dengan kehendak-Nya
akan kembali tegak di muka bumi ini hingga tidak ada ruang bagi pejabat yang
hobi korupsi. Sebab sistem sanksi yang Islam terapkan memiliki efek jera, tanpa
memandang jabatan dan kedudukan sebagaimana yang telah Rosulullah dan para khalifah
setelah beliau.
Wallahu'alam bisshowab.
0 Comments
Posting Komentar