![]() |
Sumber : National Tempo |
Oleh: Ayu Fitria Hasanah S.Pd
(Pemerhati Pendidikan dan Generasi)
Dunia pendidikan butuh perhatian ekstra, pasalnya
pandemi covid 19 menuntut perubahan besar dalam aktivitas pendidikan. Lebih
jelasnya, yakni perubahan ke arah belajar dan mengajar secara online secara
serempak. Artinya kebutuhan internet dan gawai harusnya menjadi prioritas utama
untuk dipenuhi di tengah wabah yang tak kunjung selesai ini. Jika tidak, maka
aktivitas pendidikan akan terganggu, karena terbatasnya akses antara guru dan
siswa untuk saling berkomunikasi.
Faktanya, di Indonesia masih terdapat 12.548 desa yang belum tersentuh akses layanan
internet. Hal ini menjadi tantangan yang harusnya segera
ditangani pemerintah sejak keputusan pembelajaran jarak jauh (PJJ) ditetapkan. Namun
seperti yang disampaikan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),
Retno Listyarti bahwa setelah berbulan-bulan “tidak ada langkah-langkah konkrit
Kemendikbud mengatasi berbagai kendala PJJ”. Bahkan berdasarkan data survey PJJ
fase 1 yang dilakukan KPAI pada April 2020 di peroleh hasil 42 persen siswa
kesulitan belajar daring karena orang tua tidak mampu membeli kuota internet
dan 15, 6 persen siswa kesulitan daring karena tidak memiliki ponsel, komputer
atau pun lap top (https://www.google.com).
Sayangnya pemerintah justru mengutamakan peluncuran
program POP (Program Organisasi Penggerak) sebagai episode keempat dari
terobosan kebijakan Program Merdeka Belajar. Rincinya, POP merupakan program
pemberdayaan masyarakat secara masif melalui dukungan pemerintah untuk
peningkatan kualitas guru dan kepala sekolah berdasarkan model-model pelatihan
yang sudah terbukti efektif dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan
hasil belajar siswa. Program ini tentu baik, tetapi bila kebutuhan utama
pendidikan seperti sarana pra sarana, secara khusus kebutuhan internet dan
gawai di tengah pendemi untuk pendidikan telah terpenuhi.
Persoalannya, aktivitas pembelajaran jarak jauh
belum terjadi secara meluas dan belum berjalan normal atau efektif dengan
merata, sehingga kurang tepat jika sudah melompat pada program peningkatan
kualitas guru dan kepala sekolah dengan adanya organisasi penggerak. Karena
itu, organisasi masyarakat dan organisasi pendidikan yang mundur dari program
POP pun sepakat bahwa anggaran program ini perlu direalokasi untuk keperluan
yang lebih mendesak di bidang pendidikan, selain juga karena proses seleksi
yang dinilai tak sejalan dengan semangat perjuangan pendidikan. Pendapat yang sama juga disampaikan komisioner
KPAI bahwa anggaran POP sebesar Rp 595 miliar itu bisa digunakan untuk
penggratisan internet, bantuan gawai bagi anak-anak miskin dan guru honorer. Tak hanya meminta untuk realokasi, bahkan Federasi
Serikat Guru Indonesia (FSGI) mendesak agar Komisi Pemberantasan Korupsi turut
mengawasi program tersebut (https://nasional.kompas.com).
Potret persoalan pendidikan ini menggambarkan
ketidakseriusan pemerintah dalam menangani masalah pendidikan, khususnya pendidikan
di tengah wabah covid 19. Kesalahan memahami mana yang harusnya diprioritaskan mencerminkan
ketidakjernihan paradigma tentang pendidikan. Karena sikap dalam menangani
persoalan pendidikan erat kaitannya dengan paradigma terhadap pendidikan itu
sendiri. Indonesia sebagai salah negara yang ikut menandatangani perjanjian
global yakni GATS (General Agreement on
Trade in Service), ikut mengadopsi paradigma bahwa pendidikan adalah bagian
dari perdagangan jasa. Dampaknya, bagi rakyat yang hendak memperoleh pendidikan
apalagi yang berkualitas, harus mampu mengeluarkan biaya yang besar. Karena
itu, terciptalah kesenjangan sosial di tengah masyarakat, tak aneh jika
terceletuk dalam pernyataan bapak Nadiem bahwa sekolah negeri diperuntukkan
bagi siswa dari keluarga miskin. Meski sikap penanganan dan pernyataan Pak
Nadiem terhadap pendidikan tersebut mendapat kritik, tentu tidak cukup jika
hanya menunggu dan mengaharap adanya terobosan baru, tetapi perlu solusi yang
lebih mendasar yakni perubahan paradigma negara tentang pendidikan sebagai
barang/jasa yang diperjual-belikan menjadi hajat hidup yang harus dipenuhi
negara untuk seluruh rakyat.
Dalam Islam, pendidikan dipandang sebagai kebutuhan
dasar yang harus dipenuhi negara untuk semua rakyat tanpa terkecuali, baik yang
miskin atau kaya, semua harus dipenuhi negara tanpa membeda-bedakan fasilitas.
Bahkan pemenuhan terhadap kebutuhan pendidikan dipandang sebagai pelaksanaan
syariat yang hukumnya dosa jika dilalaikan dan wajib dipenuhi. Karena itu,
dalam Islam segala kebutuhan sarana pendidikan yang belum terpenuhi tidak boleh
dibiarkan berlarut-larut, apalagi menjadi penghalang siswa memperoleh
pendidikan. Hal ini sama dengan perbuatan dzalim, karena telah mengabaikan hak
siswa untuk memperoleh pendidikan. Selain itu, Islam juga memiliki sistem
pendidikan yang mewajibkan kurikulum dan metologi pengajarannya berbasis aqidah
Islam, sehingga siswa akan terlindungi dari pemikiran-pemikiran sekuler
(pemisahana agama dari kehidupan) yang menyebabkannya menjadi liberal.
0 Comments
Posting Komentar