Oleh: Yessy Inqilaby
Di masa depan, bumi tidak
lagi mampu menopang kebutuhan umat manusia. Banyak makhluk hidup yang sudah
punah karena terjangkit wabah penyakit. Begitu juga dengan tanaman, hampir semua
tanaman tidak layak dimakan karena sudah terinfeksi penyakit. Saat itu hanya
jagung yang dapat dikonsumsi manusia agar dapat bertahan hidup. Ladang
pertanian sering rusak akibat hawar, badai debu menerjang daratan, dan umat
manusia kembali ke peradaban bertani tanpa negara.
Keadaan bumi saat itu
membuat NASA merencanakan misi besar-besaran ke luar angkasa untuk mencari
planet baru yang dapat menggantikan bumi sebagai tempat tinggal manusia. Cooper
mantan pilot uji coba NASA yang menjadi petani, tinggal bersama keluarganya,
termasuk ayah mertuanya, putranya Tom, dan putrinya yang berusia sepuluh tahun,
Murphy, yang percaya bahwa rumah mereka dihantui oleh hantu yang berusaha
berkomunikasi dengannya. Setelah menantang Murph untuk membuktikan keberadaan hantu
melalui penyelidikan ilmiah, Cooper menemukan bahwa "hantu" tersebut
memandu mereka ke pangkalan rahasia NASA yang dipimpin Profesor Brand.
Profesor Brand mengungkapkan
kepada Cooper bahwa perjuangan manusia untuk bertahan hidup semakin sia-sia. Ia
mengusulkan solusi berupa kolonisasi galaksi lain. Cooper direkrut untuk
menerbangkan Endurance, wahana antariksa uji coba dengan misi mencari planet
layak huni melewati lubang cacing yang terbentuk di orbit Saturnus.
Meski cuplikan di atas
bukanlah based on the true story, namun film fiksi ilmiah berjudul Interstellar
yang disutradarai oleh Christopher
Nolan ini bukan tak mungkin menjadi kenyataan. Berbagai bencana yang menimpa
lingkungan kita hari ini adalah gejala mundurnya peradaban umat manusia. Mulai
dari pemanasan global dan perubahan iklim, rusaknya siklus hidrologi,
bertambahnya jumlah lahan kritis, dan berbagai bencana hidrometeorologi. Tak
hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia.
Penggunaan
bahan bakar fosil secara besar-besaran mengakibatkan pemanasan global dan
perubahan iklim, dimana efek lanjutan dari kondisi tersebut adalah naiknya
tinggi permukaan laut yang mampu menenggelamkan pulau-pulau di berbagai
negara. Kemudian punahnya berbagai
spesies hewan dan tumbuhan, hingga dapat mengancam kestabilan pangan. Perubahan
cuaca akan lebih ekstrem, angin dan badai akan lebih sering terjadi.
Degradasi
lahan juga makin masif. Berdasarkan peta erosi global yang dirangkum KLHK,
Indonesia termasuk negara dengan laju sedimentasi terbesar di dunia, yaitu
lebih dari 250 ton/km2 per tahun. Tingginya laju sedimentasi itu berakibat
menurunnya produktivitas lahan dan peningkatan frekuensi bencana
hidrometeorologi.
Sekretaris
Utama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB),
Harmensyah mengatakan dalam rapat kerja di Komisi VIII DPR, Senayan, Jakarta,
Rabu (9/9), "Kami sampaikan secara umum tren bencana makin meningkat.
Sampai awal September 2020 tercatat ada 1.978 bencana". Di antaranya
bencana banjir menempati peringkat pertama dengan 748 peristiwa. Setelah itu,
disusul berturut-turut oleh bencana puting beliung dengan 527 kasus dan tanah
longsor 370 kasus dan kebakaran hutan dan lahan dengan 270 kasus. BNPB mencatat
korban yang mengungsi mencapai angka 3,9 juta jiwa. Sementara itu, 273 jiwa
meninggal dunia. "Terdapat 422 orang luka-luka dan 12 hilang," kata
Harmensyah.
Indonesia masih dinobatkan
sebagai negara dengan pengurangan tutupan hutan hujan tropis terbesar ketiga di
dunia berdasarkan analisis UN Environment Programme World Conservation
Monitoring Centre dalam laporan FAO “The State of the World's Forests 2020”
belum lama ini.
Forest Watch Indonesia (FWI)
pun mencatat laju kehilangan tutupan hutan periode 2013-2017 mencapai rata-rata
1,47 juta hektare per tahunnya. Kalimantan dan Sumatra yang mendominasi (>50
persen dari luas total deforestasi) dengan proyeksi tren kehilangan hutan yang
akan bergeser ke arah Indonesia Timur sekitar 245 ribu Ha/tahun pada periode
2017-2034.
Salah satu penyebab
kerusakan hutan yaitu akibat penebangan hutan secara ilegal (Illegal logging)
yang masih menjadi isu global yang cukup persisten (FAO, 2020). Selain itu,
konversi hutan menjadi lahan perkebunan dan kebakaran hutan juga memperparah
kerusakan tersebut.
Greenpeace Indonesia merilis
hasil investigasi terkait aktivitas pertambangan batubara di Provinsi
Kalimantan Timur. Mereka menemukan adanya daya rusak aktivitas tambang yang
berdampak kepada terganggunya kualitas air tanah dan perubahan bentang alam,
dimana terjadi banyak danau buatan sebagai dampak dari aktivitas penambangan
batubara.
Dalam kondisi separah ini,
alih-alih menghentikan liberalisasi SDA yang menjadi akar kerusakan alam,
pemerintah justru memperlebar kran penyalahgunaan alih fungsi lahan atas nama
kepentingan umum dan iklim investasi. Disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja
seolah mengamini hal tersebut.
Secara garis besar, UU Cipta
Kerja menghapus, mengubah, dan menetapkan aturan baru terkait Perizinan
Berusaha yang diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Beberapa perubahan yang paling krusial di
antaranya:
1. Keberadaan Amdal (Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan), UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan –
Upaya Pemantauan Lingkungan) dilemahkan, yakni tidak lagi menjadi
prasyarat diterbitkannya izin usaha.
2. Izin lingkungan dihapus, sehingga apakah
masyarakat sekitar menyetujui ataupun menolak tak berpengaruh pada proses
perizinan usaha.
3. Kriteria usaha yang berdampak penting yang
wajib dilengkapi Amdal (pasal 23 ayat 1) dihapus. Padahal di dalamnya memuat
poin-poin penting yang jika dihapus maka berarti melegalkan perusakan
lingkungan, misalnya kriteria pada poin c "proses dan kegiatan yang secara
potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya".
4. Pengawasan dan sanksi administratif
menjadi wewenang pemerintah pusat. Hal ini berpotensi menjadikan pemerintah
pusat bertindak otoriter karena tak ada peluang pihak lain ikut mengawasi atau
menggugat perizinan meski tak sesuai konsep
kelestarian lingkungan misalnya.
5. Menghapus pasal 29, 30, 31 mengenai Komisi
Penilai Amdal. Untuk kegiatan yang wajib memenuhi standar UKL-UPL, pemerintah
pusat langsung menerbitkan Perizinan Berusaha ketika sudah ada pernyataan
kesanggupan korporasi mengelola lingkungan hidup.
Jika para ahli dan ilmuwan tak lagi
dilibatkan dalam penyusunan Amdal, bahkan cukup dengan sebuah pernyataan kesanggupan
saja dari korporasi, bukankah UU Ciptaker ini benar-benar menjadi angin segar
bagi para investor untuk menjarah alam kita dan menciptakan kerusakan yang jauh
lebih besar?
Kalau kebijakan ini
dilanjutkan, 30 tahun mendatang berapa pulau yang akan tenggelam? Berapa
hektare sisa hutan kita? Mampukah kita bertahan pada cuaca ekstrem serta angin
dan badai yang akan lebih sering terjadi? Apakah kita dan anak cucu kita akan
memiliki cukup pangan dan air bersih? Besar kemungkinan akan terjadi perebutan sumber daya akibat kelangkaan
pangan. Produksi pangan
utama (beras, gandum dsb) dapat menurun hingga 33%. Bahkan dalam skenario
terburuk, bisa turun hingga 70%! Beberapa ekosistem, seperti ekosistem alpen,
bakau tepi pantai dan terumbu karang diperkirakan dapat lenyap, termasuk
beberapa spesies ikan.
Omnibus Law UU Ciptaker
menjadi bukti bahwa negeri ini hakikatnya tak pernah memiliki kedaulatan
sendiri. Kebijakan pemerintah hanyalah mengikuti arahan negara-negara Kapitalis.
Pelonggaran regulasi bagi korporasi makin menunjukkan keberpihakan penguasa
pada mereka sehingga melahirkan korporatokrasi. Mengapa bisa demikian? Tidak
lain karena penerapan sistem demokrasi sekuler yang telah terbukti menjadi
jalan penjajahan asing atas Indonesia dan berbagai negeri. Maka belumkah tepat
saatnya untuk mencampakkan sistem rusak dan merusak ini dan menggantinya dengan
Islam?. []
0 Comments
Posting Komentar