Nuning Wulandari S.Tr.T
(Aktivis
Muslimah, Part Of Back To Muslim Identity)
#InfoMuslimahJember -- Gerakan Pernikahan Massal antara Industri dengan Kampus yang digagas oleh Nadiem Makarim Kementrian Pendidikan dan kebudayaan nampaknya semakin menemui titik terang. Nadiem berharap perjodohan massal antara Industri dan Kampus ini bisa berjalan sempurna.
Tidak main – main
“"Kami akan fasilitasi itu secara besar dan Dirjen Vokasi kementerian kami
juga memastikan 'pernikahan massal' ini terjadi di seluruh perguruan tinggi
Indonesia, terutama di program pendidikan tinggi Vokasi dan Politeknik,"
ujar Nadiem (Katadata.co.id).
Adalah Politeknik
Negeri Jember salah satu Perguruan Tinggi
Vokasi Negeri (PTVN) yang menyambut baik ucapan Nadiem Makarim. Bertepatan
dengan puncak perayaan Dies Natalis ke 32 pada 27/10/20. Kampus Vokasi ini melaksanakan penandatangan MoU secara serentak
dengan 32 institusi mitra dan IDUKA dalam rangka mewujudkan dan memperkuat
program link and match, yang digulirkan oleh pemerintah melalui
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Pendidikan
Vokasi agar antara perguruan tinggi dan IDUKA (Industri Dunia Usaha dan Dunia
Kerja) menjalin kemitraan, baik dalam aspek perekrutan SDM, Riset bersama,
Magang/PKL Industri, Dosen dari Industri dan kemitraan lainnya dengan IDUKA
(Polije.ac.id).
Sebanyak 32 mitra yang melakukan
Penandatangan MoU secara daring ini diantaranya :
·
2 Perguruan manca negara (Jiangsu Agri-animal Husbandary Vocatioanal
College China serta Vaagdevi College of Engineering Warangal India)
·
4 PTN/PTS (Politeknik Negeri Madura, Politeknik Negeri Banyuwangi,
Politeknik Indonusa Surakarta dan Universitas Muhammadiyah Jember)
·
5 Pemerintahan (Pemprov. Jawa Timur, Pemprov. Aceh, Pemkab. Situbondo,
Pemkab. Sidoarjo dan Pemkab. Nganjuk)
·
Direktur PT Botani Seed Indonesia, Bogor; Direktur Indomaret Grup, Jakarta;
Direktur PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), Jember; Direktur PT J&T
Express Indonesia, Surabaya; Direktur PT Dua Kelinci, Pati; Direktur PT
Gamatechno Indonesia, Yogyakarta; Ketua Ikatan Pengusaha Benih Holtikultura
Indonesia, Malang; Direktur PT Charoend Phokphand Indonesia, Surabaya; Direktur
PT Yoongbe Indonesia (PMA Korea), Jember; Direktur CV. Pertanian Bumi Jaya,
Tanggul Jember; Direktur CV. Sekawan Tani Indonesia, Puger Jember; Direktur PT
Bank Sinar MasSyariah Jember; Presiden Direktur PT Benih Citra Asia, Ajung
Jember; Direktur PT Mangli Djaya Raya, Jember; Manager PT Roda Sakti Surya Raya
(YAMAHA), Jember; PT Garudafood Putra Putri Jaya. Tbk; PT Manufactur Dynamic
Indonesia; PT Seger Pakusari Agrobisnis; PT Marimas Putera Kencana, Semarang
(Sumber polije.ac.id)
Sejalan dengan apa yang diharapkan pemerintah “Perguruan Tinggi harus
lebih aktif melakukan kerjasama dengan para industri, termasuk kawasan industri
terdekat. Upaya itu, menurut dia, bisa dilakukan universitas dengan cara
membuka fakultas, departemen atau program studi terkait dengan jenis industri
di kawasan tersebut” Ungkap Presiden Joko Widodo pada 4/7/20 (Katadata.co.id).
PERNIKAHAN MASSAL UNTUK APA ?
Sekilas gagasan pernikahan massal ini seolah menjadi terobosan
baru agar indonesia bisa bertahan di era keterbukaan pasar global dengan
mengejar target sukses dalam persaingan global. Walhasil dunia pendidikan juga
menjadi korban yang diberdayakan agar arah pendidikan hari ini berbasis pada
industri kapitalis. Target pendidikan didesign hanya berorientasi pada kompetensi (kemampuan) para intelektual
agar mampu menghadapi tuntunan dunia kerja yang dinamis semata, dengan mencetak
SDM pekerja alias buruh.
Padahal sudah menjadi
rahasia umum, bahwa industri hari ini banyak dimiliki swasta atau asing. Lantas
apa yang diharapkan dari gagasan pernikahan massal yang mengarah pada
pendidikan berbasis industri?
Perlu dipahami bersama
bahwa pendidikan bukan sebatas pada kompetensi (kemampuan) saja. Tujuan
pendidikan harusnya membentuk dan mendidik SDM yang berkarakter, cerdas,
menjadi tenaga ahli yang terampil, menghasilkan penemuan dan karya yang mampu
dinikmati umat dan dapat menyelesaikan masalah persoalan bangsa. Apa lagi
ditengah masalah krisis karakter yang sedang dihadapi generasi milennials.
Model pendidikan ini justru melahirkan generasi korupsi, kekerasan,
keserakahan, kejahatan, penistaan agama hingga konflik, generasi hedon. Belum
lagi perilaku menyimpang seperti pergaulan bebas, tawuran, rendahnya adab kesopanan
dan pemahaman islam menjadi momok menakutkan yang senantiasa menghantui output
dunia pendidikan.
Tidak ada yang dibisa
diharapkan dari pendidikan yang berbasis industri, gagasan ini hanya menjadi titik
sempurna agar para korporasi dapat dengan mudah menguasai kampus. Kampus harus
berlari kencang mengikuti permintaan pasar, mengurangi tingkat pengangguran
sarjana menjadi alasan utama agar dunia kampus tetap mengikuti arahan industri
dunia kerja dan dunia usaha. Korporasi dengan mudahnya menekan dunia kampus
yang tak lagi punya independensi karena pendidikan hari ini telah sempurna
dikomersialisasikan. Dunia bisnis yang serat dengan untung – rugi juga harus
dikonversikan kedalam dunia pendidikan.
Sebagaimana keresahan Tom Hodgkinson
dalam pernyataannya berikut:
“Pendidikan itu sendiri
adalah penangguhan, penundaan. Kita dinasihati agar bekerja keras supaya
mendapatkan nilai bagus. Kenapa? Supaya kita bisa mendapatkan pekerjaan bagus.
Apa itu pekerjaan yang bagus? Pekerjaan yang bergaji tinggi. Oh, itu saja?
Semua penderitaan ini, hanya agar kita mendapatkan banyak uang, yang bahkan
jika kita berhasil mendapatkannya pun tidak akan menyelesaikan masalah kita,
bukan? Ini adalah ide sempit yang tragis tentang untuk apa hidup ini
sesungguhnya.”
Benar saja potensi
intelektual hari ini terbuang sia – sia pada hal –hal yang tidak bermanfaat
bagi umat. Atau bahkan potensi itu telah terkubur bersama dengan bersamaan
dengan berbagai ambisi pemenuhan gaya hidup sesuka hati tanpa paham untuk apa
hidup ini sesungguhnya
Jika kalangan inteletual
yang punya peran besar datang dengan membawa solusi atas setiap problem bangsa
dengan harga yang tidak gratis, bahkan bernilai untung rugi karena erat dengan
dunia bisnis. Atau bahkan kalangann intelektual sedang disibukkan dengan
mencetak dan menjadi tenaga kerja. Lantas siapa yang akan mengurusi persoalan
umat dengan ikhlas?
0 Comments
Posting Komentar