Oleh. Vivi
Telah terselenggara acara Forum Grub Discussion (FGD) Jilbab
Simbol Intoleran dan Soft Launching Woman
Islamic Course (WIC) via zoom yang dilaksanakan Rabu, 24 Januari 2020 yang
dipandu oleh Kak Siska Wahyuni (Part of Sekolah Muslimah Ideologis dan BMIC
Jember) sebagai host dan Kak Miftah
Karimah S. (Aktivis Perempuan dan Co. BMIC Jember) sebagai
pemateri. Dihadiri oleh puluhan aktivis mahasiswa
di berbagai Universitas di Jawa Timur.
Diawal diskusi Kak Siska selaku moderator, beliau
memaparkan tentang keputusan SKB 3 Menteri perihal kasus siswa non muslim yang
merasa dipaksa memakai jilbab (kerudung), menyatakan bahwa sekolah dilarang
untuk mewajibkan atau menghimbau kepada siswa untuk mengenakan atribut tertentu
seperti atribut kegamaan dalam pakaian sekolah. Diskusi mulai berlangsung
dengan lontaran pertanyaan dari moderator "Benarkah Jilbab itu simbol intoleran?"
Pertanyaan tersebut, dijawab oleh Kak
Miftah dengan menjelaskan
"apa itu
toleransi?". Toleran didalam Islam adalah menghargai,
menghormati atau membiarkan melakukan sesuatu sesuai dengan keyakinannya.
Istilah tepatnya yaitu Lakum Diinukum Wa
Liyadiin. Nah ini jadi bermasalah dikondisi hari ini karena definisi
toleran disamaratakan. Dianggap intoleran (tidak toleran) jika dia tidak sama dengan yang
lain begitupun sebaliknya, contohnya jika yang lain mengucapkan selamat natal kepada non
muslim, kok ada yang tidak mengucapkan, maka dia akan disebut sebagai intoleran.
Padahal kalau diartikan didalam Islam, toleran itu hanya ada dalam perkara
muamalah, sedangkan dalam perkara aqidah dan ibadah tidak ada yang namanya
toleransi.
Pemateri juga menjelaskan bahwa makna toleran juga sering kali tidak konsisten.
Misalkan
apa
dialami oleh muslimah-muslimah Bali yang dilarang berkerudung disekolahnya, tidak pernah muncuat dipermukaan.
Tidak ada juga tuduhan intoleran disematkan pada sekolah tersebut. Hal
ini terasa janggal karena ketika yang jadi korban adalah muslim, mereka diam
seribu bahasa, tapi ketika yang jadi korban itu non muslim, mereka
berlomba-lomba untuk membela. Jika toleran itu menghargai, harusnya tidak ada
masalah jika kaum muslimah itu memakai krudung karena hal itu terkait dengan
aqidah dan ibadah. Jika muslim disuruh untuk menghargai natal, maka muslim pun
juga harus dihargai atas kewajiban dari agamanya untuk berkerudung. Maka sejatinya makna toleran hari ini,
terjadi standar
ganda. Ketika muslimah hari ini dipaksa tidak berkerudung yang artinya melanggar
kewajiban syariat
dan berdosa, justru hal itu bukan menjadi sebuah masalah di
kondisi saat ini. Bukankah
ini harusnya yang disebut intoleran?
Kak
miftah juga menambahkan,
“Kerudung itu fungsinya adalah menjaga perempuan. Hari ini kita sering kali bicara tentang banyaknya kasus kekerasan
seksual, hingga muncul RUU
PKS dalam rangka menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual. RUU ini kan bentuk upaya
kuratif, mengobati aja.
ketika ada kasusnya gimana kita itu bisa menghukumi mereka atas orang-orang
yang melakukan kekerasan seksual. Tapi seringkali kita nggak
peka terhadap
apa sih yang menyebabkan itu terjadi, kita kan fokusnya cuman, kalau sudah
terjadi nanti gimana?, sedangkan tindakan preventifnya (pencegahannya)
gak dilihat.” pungkas Kak Miftah.
Dan sebenarnya aturan kerudung di padang ini sudah beelaku 15 tahun sejak 2005, tapi kenapa
sekarang baru dipermasalahkan. Dari sini, i Kak Miftah mengkritisi bahwa
ada indikasi kuat upaya monsterisasi ajaran Islam ditengah-tengah umat yang
dilakukan oleh musuh Islam yang kebakaran jenggot akan bangkitnya kembali Khilafah
Islamiyah yang berdiri tegak ditengah-tengah sistem kapitalisme yang mereka
perjuangkan. Hal ini juga sebagai pengalihan isu dari masalah-masalah yang
sebenernya butuh perhatian lebih dari pemerintah, seperti korupsi, masalah
pandemi yang tidak selesai-selesai, dan masalah lainnya.
Diskusi
semakin memanas ketika peserta memberikan fakta tentang kasus kekerasan seksual
dan pemerkosaan yang dialami oleh muslimah-muslimah Palestina dan Suriah yang
notabene nya mereka sudah menutup aurat. Hal itu dikritisi oleh Kak Miftah dengan pernyataan
menohok ,” yang berkerudung aja digituin, apalagi yang gak berkerudung, akan
semakin banyak masalah.” Tukas Kak Miftah. Lanjut beliau menjelaskan bahwa,
sebagai seorang muslim menjalankan syariat itu dilihat dengan kacamata keimanan
bukan dari segi manfaatnya. Maka dari itu, Islam nggak bisa diambil secara
setengah-setengah, perempuannya sudah berkerudung tapi video porno mudah
diakses, dalam pendidikan tidak diajarkan beraqidah kuat, tontonannya banyak memberikan
asupan syahwat. Akhirnya banyak terjadi kekerasan seksual karena yang terbentuk di maindset laki-laki adalah perempuan itu
adalah alat pemuas nafsu. “Maka
Dari
sinilah kenapa Islam itu nggak bisa diterapkan setengah-setengah, ini nggak
akan bisa menyelesaikan masalah, nggak akan tampak Islam Rahmatan Lil ‘alamiin itu kalau Islam nggak diterapkan secara
Kaffah.” Tegas Kak Miftah
0 Comments
Posting Komentar