![]() |
Sumber Foto : Tabloid Nova |
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
#InfoMuslimahJember -- Ide
kesetaraan bagi perempuan masih menjadi primadona. Banyak pihak yang menganggap
belenggu agama (baca: Islam) dan adat budaya sebagai penyebab utama ketiadaan
kesetaraan bagi perempuan. Terutama bagi perempuan yang sudah menikah. Berbagai
upaya dilakukan. Hanya agar perempuan setara dengan pria.
Pergerakan
kesetaraan ini sudah terhitung cukup purba muncul di Indonesia. Dengan
menjadikan Kartini sebagai ikon kesetaraan meskipun pada faktanya samasekali
tak ada. Sebab, bukan kesetaraan ala perempuan kapitalis yang Kartini gugat,
tapi kesetaraan mendapatkan ilmu yang sama dengan laki-laki agar perempuan bisa
melaksanakan tugas utamanya sebagai Ummu WA rabbatul bait ( ibu dan pengatur rumah
tangga) dengan baik.
Karena
tak kunjung mendapatkan kemajuan, masyarakatpun seperti terbelah. Ada yang pro dan kontra. Pada Era Orde Baru (Orba), pada tahun 1978
dibentuk Kementrian Urusan Peranan Wanita dalam kabinet. Kemudian pada periode Habibie, dibentuk
Komisi Nasional Perlindungan Kekerasan terhadap Perempuan yang dikenal dengan
Komnas Perempuan pada tahun 1999 lewat Instruksi Preiden. Ini merupakan jawaban
atas tuntutan sejumlah tokoh perempuan kepada Presiden Habibie pada waktu itu.
Selanjutnya
dalam periode kepemimpian Presiden Abdurrahman Wahid, dikeluarkan Instruksi
Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang Program Pengarusutamaan Gender
(PUG). Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan mulai gencar mengemukakan
kampanye isu kesetaraan dan keadilan gender (KKG).
Pada
masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri, Kementrian Negara Pemberdayaan
Perempuan tetap melanjutkan Inpres No. 9 Tahun 2000 dengan fokus perhatian
utama pada partisipasi perempuan dalam kehidupan publik dan jabatn politk-strategis.
Terbukti dengan adanya tuntutan kuota kursi legislatif sebanyak 30 persen untuk
calon perempuan dan disetujui dalam Undang-undang Pemilhan Umum yang baru pada
Pasal 65. Kemudian pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudiono dan
Wakil Presiden Yusuf Kalla mengangkat
empat orang perempuan dalam kabinetnya ( kompasiana.com, Yuliana
Yuliana, 15/4/2017).
Banyak
jalan ditempuh hanya dalam rangka mensejajarkan peran wanita dan pria. Semuanya menemukan titik buntu, sebab hal itu
hanyalah upaya kosong tanpa pendalaman fakta. Sejatinya masalah perempuan terus
muncul tak berkesudahan sebab dilanggarnya ketentuan Allah dalam pengaturannya.
Perempuan dianggap pihak yang termarjinalkan sehingga tak layak memperoleh
kesempatan yang sama dengan pria diberbagai aspek. Mereka mati-matian
menganggap perempuan perlu disejajarkan dengan pria.
Sementara
Islam memandang perbedaan pria dan wanita adalah sunnatullah. Memang demikian
adanya Allah menciptakan pria dan wanita, mereka mengemban amanah masing-masing
sebagaimana bentuk penciptaan mereka sendiri.
Allah mempersiapkan keduanya untuk mengarungi kancah kehidupan dengan
sifat kemanusiaannya.
Allah
telah menjadikan pria dan wanita untuk hidup bersama dalam satu masyarakat.
Allah juga telah menetapkan bahwa kelestarian jenis manusia bergantung pada
interaksi pria dan wanita itu dan pada keberadaan keduanya dalam masyarakat.
Karena itu, tidak boleh memandang salah satunya kecuali dengan pandangan yang
sama atas yang lain, bahwa ia adalah manusia yang mempunyai berbagai ciri khas
manusia dan segala potensi yang mendukung kehidupannya.
Allah
telah menciptakan pada pria dan wanita kebutuhan jasmani serta berbagai naluri
ada pada setiap jenis kelamin. Allah juga menjadikan pada keduanya daya pikir (
akal) sehingga keduanya sama-sama bisa berpikir. Maka, ditetapkanNya pula
taklif syariah itu pada pria dan wanita adalah keniscayaan. Baik itu taklif
ibadah, kewajiban berakhlak mulia, hukum-hukum muamalah dan sanksi adalah sama
bagi pria dan wanita.
Allah
berfirman dalam Quran surat Al-Ahzab 33:35 yang artinya: "Sungguh,
laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki laki dan
perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar,
laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk,
laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan
yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan
dan pahala yang besar".
Dalil
diatas hanya menegaskan bahwa seluruh hukum Syara' terkait manusia sebagai
manusia apapun hukumnya serta bagaimanapun jenis dan macamnya sesungguhnya tak
ada perbedaan bagi pria dan wanita. Ini bukanlah kesetaraan, namun hanya bentuk
taklif kepada manusia sebagai manusia. Namun adakalanya hukum Syara' itu
berkaitan dengan predikatnya sebagai pria atau sebagai wanita. Ini karena
mereka berdua adalah anggota masyarakat. Dan itu menjadi solusi secara umum.
Seperti
misalnya kewajiban berpakaian secara sempurna bagi wanita ketika keluar rumah,
adalah solusi agar tak terjadi fitnah dan si perempuan tetap terjaga kemuliaannya.
Kewajiban mencari nafkah ada pada pundak
pria itu juga merupakan solusi, sebab ibu atau perempuan adalah pengatur rumah
tangga dan mafrasatul ula bagi anak-anaknya. Dan lain sebagainya. Maka akan
runyam jika taklif ditukarkan atau justru dipersamakan. Misalnya, bagaimana
jika syariat pengasuhan, kelahiran ada pada pria, padahal itu solusi bagi persoalan
perempuan?
Tak
akan tercipta kesejahteraan. Sebab, semuanya tak sesuai sunnatullah. Maka,
apakah masih ada keraguan terhadap kemampuan Islam sebagai sebuah sistem aturan?
jika masih muncul wacana kesetaraan, jelas, itu merupakan bagian dari upaya kaum kafir
untuk menjauhkan kaum Muslim dari pemahaman agama yang benar.
Wallahu alam
biashowab.
0 Comments
Posting Komentar