![]() |
Sumber Foto : Hipwee |
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Pernikahan
adalah akad yang sakral. Sebab Allah saksinya, bahwa telah terjadi pemindahan
hak dan kewajiban seorang perempuan dari walinya kepada pria yang sudah menjadi
mahromnya tersebab telah adanya ijab qabul. Maka, sejak saat itu praktis Allah
mewajibkan seperangkat syariat dalam berumah tangga. Bukan tak mungkin sebuah
pernikahan tanpa masalah, namun dengan pengaturan syariat, Allah menghendaki
beribu-ribu kebaikan dan keberkahan dari sebuah pernikahan.
Diantaranya
adalah disyariatkan pernikahan sebagai satu-satunya jalan melanggengkan jenis
manusia. Sebagaimana Allah SWT berfirman yang artinya, "Dan sesungguhnya
Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada
mereka istri-istri dan keturunan" ( TQs ar-Ra'd 13: 38). Islam
mengharamkan hidup selibat (membujang), zina, nikah kontrak dan nikah karena
perjanjian sebab hal-hal tersebut hanya akan menimbulkan makin jauh dari
kenikmatan pernikahan dan lebih buruknya akan menghancurkan tatanan sosial dan
masyarakat.
Maka
ketika muncul wacana baru dari Mentri Menteri Koordinator bidang Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) akan merancang program sertifikasi
perkawinan. Hanya untuk memberantas KDRT, pernikahan dini, stunting dan
lain-lain,
dirasa sangat tidak solutif terhadap persoalan pernikahan (tribunnews.com).
Sebelumnya
pula, DPR RI telah mengesahkan RUU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
menjadi UU baru. Terdapat perubahan pasal di dalam UU perkawinan yang baru,
yakni pasal 7 tentang usia boleh kawin laki-laki dan perempuan menjadi setara
19 tahun. Sebelumnya, di dalam pasal 7 tersebut laki-laki dibolehkan menikah
minimal berumur 19 tahun, sedangkan perempuan 16 tahun (radarlampung.com).
Kedua
kebijakan diatas terlalu mubazir untuk diterapkan. Pasalnya keduanya sama-sama
tak menyentuh akar persoalan kerap munculnya masalah dalam pernikahan. Dalam
Islam jelas tertolak, sebab keduanya berangkat dari pemahaman sekuler alias
pemisahan agama dari kehidupan. Persoalan yang munculpun akan disikapi dengan
standar Islam.
Islam
menganjurkan pernikahan dan tak ada syarat apapun di dalamnya. Sebagaimana
diriwayatkan dari Ibn Mas' UD RA, ia menuturkan, "Rasulullah SAW pernah
bersabda: " Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah mampu
menanggung beban (Al Ba' ah), hendaklah segera menikah. Sebab, pernikahan itu
lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Siapa saja yang
belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah perisai
baginya" ( Muttafaq ' alayhi).
Namun
tentu negara dalam hal ini harus hadir untuk memastikan seseorang itu menikah
dan tanpa melalui proses yang ribet. Sebab ini adalah bagaian dari penerapan
syariat Allah. Negara hadir dalam penjaminan kebutuhan pokok umat sehingga setiap
orang yang telah menikah hanya akan terbebani mencari nafkah, bukan yang lain.
Bukan
sebagaimana saat ini, dimana pernikahan adalah bagian dari investasi dan gaya
hidup sekuler . Sehingga setiap sisi pernikahan akan selalu mencari manfaat dan
untung ruginya. Sejak Prewed hingga pasca pernikahan berlangsung . Tak ada bahasan
melanggar saksi syariat, yang ada asal suka sama suka, bahkan hanya dengan
mengedepankan fisik dan segala rupa hingga menjadikan pernikahan terasa berat bagi
kebanyakan orang. Beberapa budaya setempat juga menempatkan pernikahan adalah bicara
kepangkatan, siapa bicara kepada siapa.
Kebijakan
itu kental bercorak sekulerisme. Muncul dari pemahaman memisahkan agama dari kehidupan. Sebab Islam tak mengenal adalah ideologi lain selain apa yang termaksud
dalam Alquran dan As-Sunnah. Maka
masalah kesetaraan ( kafa' ah) antara suami dan istri yang seringnya
menimbulkan masalah rumah tangga ini dalam Islam tidak ada. Suami bukan atasan
istri dan istri bukan bawahan suami. Tapi pernikahan adalah persahabatan. Ajang
saling mengingatkan dan tentu mengokohkan dakwah. Wallahu a' lam biashowab.
Maka
setiap muslimah manapun layak untuk muslim manapun. Tak peduli harta,
pekerjaan, garis keturunan atau yang lainnya sama sekali tak ada nilai. Allah SWT
berfirman dalam Quran surat Al Hujurat 49:
13 , "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling Bertakwa
di antara kamu" yang kemudian
menjadi dalil penegasan tak ada sekufu (kesetaraan) diantara suami dan istri.
Selayaknyalah setiap Muslim paham syariat Allah. Bukan saja sebagai pedoman dalam
hidupnya, namun juga demi berlangsungnya tujuan pernikahan dan sempurnanya
beribadah kepada Allah SWT. Ulama dan negara adalah satu kesatuan untuk
menjelaskan hal ikwal pernikahan.
Wallahu a' lam biashowab.
Wallahu a' lam biashowab.
0 Comments
Posting Komentar