Oleh. R. Raraswati
(Freelance
Author, Muslimah Peduli Generasi)
#InfoMuslimahJember -- Ungkapan pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape) terdengar
aneh, karena istilah tersebut digunakan untuk pasangan sah. Kata pemerkosaan
biasanya diperuntukkan pada wanita yang mendapatkan pelecehan seksual oleh
orang lain, bukan suaminya. Namun, inilah yang sedang digencarkan oleh penganut
sekularis dan gender untuk dilegalkan. Selangkah lagi, RUU KUHP terkait hal
ini pun disahkan dalam sidang paripurna DPR RI.
Mekutip dari detikcom,
(14/6/2021): "Marital Rape (Perkosaan dalam Perkawinan)
ditambahkan dalam rumusan Pasal 479 supaya konsisten dengan Pasal 53 UU 23/2004
tentang PKDRT yaitu tindak pidana kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual
yang dilakukan terhadap istri atau suami bersifat delik aduan," kata Guru
Besar hukum pidana UGM Prof Marcus Priyo Gunarto dalam Diskusi Publik RUU
KUHP di Hotel JS Luwansa, Senin (14/6/2021).
Pada ayat 1 pasal tersebut berbunyi: “Setiap Orang
yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang bersetubuh
dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling
lama 12 (dua belas) tahun.”
Jika kita telusuri lebih rinci,
sejatinya kekerasan dalam rumah tangga disebabkan sistem sekuler yang dianut
negeri ini. Di mana sistem ini memisahkan agama dari kehidupan, sehingga
menjadikan umat Islam tidak lagi menggunakan syariat sebagai pedoman hidup. Mereka
menggunakan aturan Islam ketika melaksanakan ibadah kepada Allah. Sementara
saat melakukan aktivitas rutinnya menggunakan aturan sendiri sesuai kebutuhan
dan keinginan. Semua itu membuat pasangan suami istri tidak mengetahui hak dan
kewajiban yang perintahkan syariat.
Para
penganut kapitalis sekuler hanya mengukur sesuatu dengan materi. Menjadi wajar
jika istri juga dituntut mencari tambahan nafkah yang seharusnya menjadi
kewajiban suami. Secara bersamaan, kewajiban mengurus rumah, anak dan suami
tetap harus dijalani. Peran ganda wanita ini tentu berpengaruh terhadap kondisi
fisik maupun psikisnya. Ketika suami minta haknya untuk berjimak, sedangkan kondisi sang istri yang lelah, dapat memicu
masalah dalam keluarga. Kondisi istri seperti ini tidak dapat melayani suami
secara maksimal bahkan ada kemungkinan menolak.
Jika demikian, hubungan suami istri akan
dilakukan dengan cara memaksa. Hal ini bisa dikenakan delik hukum dengan
ancaman penjara selama dua belas tahun. Ancaman tersebut menjadikan laki-laki
lemah iman memilih hubungan di luar rumah untuk menghindarinya. Tentu saja ini
menimbulkan masalah baru yang lebih luas.
Ironi, suami yang memaksa hubungan
pada istri sahnya mendapatkan hukuman berat. Sementara undang-undang pada
pelaku 'kumpul kebo' diberi sanksi lebih ringan. Sebagaimana tercantum pada pasal
418 ayat 1:
"Setiap orang yang melakukan
hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana
penjara paling lama enam (6) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II
adalah maksimal Rp10 juta."
Artinya, jika pasangan bukan suami
istri sama-sama masih lajang dan dewasa, bebas dari delik hukum marital rape. Tentu
ini sangat berlawanan dengan syariat Islam yang mengarahkan fitrah seksual dengan pernikahan.
Jika RUU KUHP tersebut dilegalkan,
maka akan berdampak pada beberapa hal. Hukuman pada suami yang melanggar akan
dipenjara, sehingga tidak menutup kemungkinan berakhir perceraian. Untuk
menghindari hukuman, bisa saja suami memilih jajan di luar. Hasilnya, seks
bebas semakin tumbuh subur. Pelacuran menjadi bisnis menggiurkan para penganut
kapitalis. Maka, kehancuran keluarga dan rusaknya kehidupan sosial dipastikan
terjadi.
Kemungkinan tersebut, harus segera
diatasi dengan mencegah dilegalkannya UU Marital Rape. Umat Islam harusnya
terikat pada syariat Islam. Allah telah menjadikan Islam sebagai pedoman hidup
yang paling sempurna. Islam berisi hukum yang mengatur semua aspek kehidupan,
termasuk hubungan suami-istri dalam pernikahan.
Allah memerintahkan
agar suami bergaul dengan istrinya dengan cara yang makruf. Bergaul selayaknya seorang sahabat secara sempurna.
Sebagaimana Firman Allah,
“ … Dan bergaullah dengan
mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka maka bersabarlah
karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak.” (QS
An-Nisaa’: 19)
Penerapan
syariat Islam dalam keluarga telah dicontohkan oleh Rasulullah. Beliau
memberikan hak-hak istri, yaitu mahar, nafkah, tidak bermuka masam dan
sebagainya. Rasulullah bergaul dengan makruf kepada keluarganya. Dari Muawiyah
al-Qusyairi, Nabi pernah ditanya;
“Apakah hak seorang wanita atas
suaminya? Rasulullah menjawab, ‘Engkau memberinya makan jika engkau makan dan
engkau memberi pakaian jika engkau berpakaian. Janganlah memukulnya pada wajah,
jangan mencaci maki dan jangan menjauhinya, melainkan dalam rumah.’” (HR Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah)
Perlakuan Rasul terhadap istri juga diperlihatkan saat menyapa dengan
sapaan hangat dan baik. Rasul menyapa Khadijah ra. dengan sebutan “Ya habibi,
wahai kekasihku”. Begitu juga dengan Aisyah ra. yang disapa dengan “Ya Humaira,
wahai wanita yang pipinya kemerahan”.
Rasulullah pernah berpesan kepada para suami agar tetap bersabar
menghadapi sikap para wanita (istri) yang kurang disukai. Meski ada hal-hal
yang tidak disukai dari sikap istri, hal itu tidak menjadi alasan bagi para
suami untuk berlaku kasar.
Diriwayatkan Imam Muslim dan Imam Ahmad, Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah marah (laki-laki muslim/suami) kepada seorang wanita musiman (istri). Jika tidak menyukai perangai darinya, maka sukailah perangai lainnya.”
Nabi juga mengajarkan untuk menjaga rahasia keluarga, khususnya rahasia istrinya. “Sesungguhnya, suami merupakan pakaian istri dan istri adalah pakaian suami,” ujarnya.
Dalam pernikahan, istri juga mempunyai
hak yang sama seperti halnya suami. Allah menegaskan dalam firman-Nya;
"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf .... " (QS. al-Baqarah [2]: 228)
Namun, istri juga diwajibkan taat
kepada suaminya dan tidak boleh menolak ajakan suami untuk berjimak. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
"Jika seorang suami mengajak istrinya untuk berhubungan, akan tetapi ia (istri) tidak memenuhi ajakan suami, hingga malam itu suaminya marah, maka ia (istri) mendapatkan laknat para malaikat sampai subuh." (HR. Muslim)
Sesungguhnya tujuan pernikahan adalah melestarikan keturunan, menjaga nasab (garis keturunan), memelihara kehormatan dengan menundukkan pandangan dan membentengi kemaluan sehingga terjaga kesucian jiwa. Pernikahan hendaknya mendatangkan sakinah, mawaddah, dan rahmah. Keluarga yang tenang tenteram, rukun, penuh cinta dan kasih sayang. Pada akhirnya melahirkan keturunan-keturunan unggul penerus Islam.
Tidak cukup untuk melestarikan
keturunan, Islam menjadikan perkawinan sebagai penjaga kehormatan dan kemuliaan.
Islam justru memberi sanksi yang tegas bagi pelaku zina. Untuk pezina laki-laki
maupun wanita yang belum menikah dihukum cambuk seratus kali. Sedangkan yang
sudah atau pernah menikah dihukum rajam, yakni tubuhnya ditanam dalam tanah
setinggi dada, kemudian dilempari batu hingga mati.
Demikian Islam mengatur hubungan
laki-laki dan perempuan dalam sebuah perkawinan yang mulia. Jika syariat Islam
sebagai pedoman dalam berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara, insyaAllah
dapat mencegah segala bentuk kekerasan. Dengan demikian tidak diperlukan
lagi UU KUHP yang mengatur hukuman pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape).
Keluarga hidup harmonis dan bahagia dengan syariat Islam. InsyaAllah.
Wallahu a’lam bish shawwab.
0 Comments
Posting Komentar