Oleh. Jamilah
(Pemerhati Masalah Publik)
#InfoMuslimahJember -- Jika beberapa bulan sebelumnya
konsumen menjerit karena harga cabai melangit, kali ini giliran petani yang
menangis karena harga cabai benar-benar tak logis. Bisa dibayangkan, di
beberapa tempat, harga jual cabai merah keriting di tingkat petani anjlok
hingga kisaran Rp2.000—Rp3.000 per kilogram. Padahal,
Titik Impas Biaya Produksi atau Break Event Point (BEP) untuk cabai idealnya di
atas Rp25.000—Rp30.000 per kilogramnya. Hal
ini juga terjadi pada jenis cabai yang lain.
Wajar jika di beberapa wilayah,
para petani banyak yang memilih membiarkan tanaman cabainya rusak. Bahkan,
petani cabai di Majalengka memilih menelantarkan lahannya hingga membakar
tanamannya.
Cabai memang bukan komoditas
strategis. Namun, tingkat konsumsi masyarakat kita terhadap cabai cukup tinggi.
Wajar jika menanam cabai menjadi salah satu pilihan terbaik bagi sebagian
petani. Apalagi di momen-momen tertentu, harga pasar cabai cukup menggiurkan.
Maret lalu misalnya, harganya bisa mencapai Rp135.000,-. Sementara di saat
normal, kisaran harga antara Rp35.000—Rp40.000.
Namun, tak jarang petani seperti
kena prank. Saat musim tanam, mereka bersemangat menanam karena berharap dapat
menikmati keuntungan. Tapi ketika menjelang panen, tiba-tiba harga pasar
anjlok. Bukan hanya cabai yang bernasib begini, hal ini sering pula terjadi
pada komoditas pertanian yang lain.
Pihak pemerintah, dalam hal ini
Kementerian Pertanian, biasanya berdalih anjloknya harga adalah akibat faktor
kelebihan produksi atau surplus. Akibatnya, ketersediaan barang di pasar
terlalu melimpah, sementara permintaan atas barang tersebut tetap atau malah
berkurang akibat daya beli masyarakat yang terus menurun di masa pandemi.
Untuk cabai, diketahui bahwa
selama Januari—Juli 2021 terdapat produksi
sebanyak 163.293 ton. Padahal, kebutuhan cabai hanya sebesar 158.855 ton.
(Sumber data: Liputan6.com, 29/8/2021)
Masalahnya ternyata tak hanya
sampai di situ. Yang membuat kondisi makin ironis, di tengah berita anjloknya
harga cabai di dalam negeri, ternyata ada berita banjir impor cabai.
Berdasarkan data BPS, impor cabai
sepanjang Semester I-2021 (Januari—Juni)
sebanyak 27.851,98 ton dengan nilai US$59,47 juta. Angka tersebut meningkat
jika dibandingkan dengan realisasi impor pada Semester I-2020 yang hanya
sebanyak 18.075,16 ton dengan nilai US$34,38 juta. Cabai yang diimpor
pemerintah pada umumnya adalah cabai merah, termasuk juga cabai rawit merah. Adapun
negara pengekspor cabai ke tanah air di antaranya India, China, Malaysia,
Spanyol dan Australia.
AKAR MASALAH : NEOLIBERALISME
FAO pernah menyatakan saat ini
produksi pangan global sangat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan penduduk
dunia. Namun buruknya sistem pangan menyebabkan distribusi pangan tidak merata
ke seluruh manusia.
Pengelolaan yang buruk
ini berpangkal dari dijauhkannya negara dari fungsinya sebagai pemelihara
urusan rakyat. Pemerintah saat ini hadir sebatas regulator yaitu penyusun
regulasi. Itu pun regulasi yang berpihak pada korporasi.
Paradigma rusak ini pula yang
menjadikan pemerintah terus menerus menggulirkan program yang jauh dari tujuan
kemaslahatan rakyat. Seperti megaproyek food estate yang dijadikan alasan
program peningkatan ketahanan pangan. Namun faktanya, tetap dikelola dengan
mindset korporat.
Konsep buruk ini juga menyebabkan
negara absen dalam pengaturan tata niaga pangan. Harga pangan rentan
dipermainkan para spekulan dan rakyatlah yang menjadi korban.
ISLAM SEBAGAI SOLUSI
Di tengah ketidakmampuan sistem
kapitalisme neoliberal menyelamatkan manusia dari wabah, diikuti krisis
multidimensi yang akan terjadi pasca wabah, seharusnya makin menyadarkan kaum
muslimin bahwa kita butuh sistem baru.
Sistem yang akan menyelamatkan
manusia dan dunia dari berbagai malapetaka, serta membawa solusi yang akan
menyejahterakan. Sistem hari ini telah gagal menyejahterakan manusia, baik pada
saat tanpa wabah, terlebih lagi ketika terjadi wabah.
Satu-satunya harapan umat
hanyalah kepada sistem Islam dan Khilafah. Khilafah sebagai institusi pelaksana
syariah Islam memiliki paradigma dan sistem yang sangat jauh berbeda dengan
kapitalisme; yakni mengurusi rakyat serta menyelamatkan rakyat dari wabah.
Solusi lockdown yang dijalankan
Khilafah turut meminimalisasi terjadinya berbagai krisis ikutan pascawabah. Hal
ini karena penguncian total wilayah yang terkena wabah dengan segera, akan
meminimalisasi penularan ke wilayah lain. Sehingga masyarakat yang berada di
luar wilayah wabah tetap menjalankan aktifitasnya secara normal. Tentu ini akan
mengurangi terjadinya krisis ekonomi, pangan, dsb seperti kekhawatiran dunia
saat ini.
Terkait tata kelola pangan,
Khilafah dengan seluruh paradigma dan konsepnya adalah sistem yang memiliki
ketahanan dan kedaulatan pangan yang kuat baik di masa normal maupun menghadapi
krisis.
Apalagi seandainya terjadi di
Indonesia di mana negeri ini telah dianugerahi Allah SWT berbagai potensi
sumber daya pertanian baik lahan subur, biodiversitas sumber pangan, iklim yang
mendukung, hingga SDM petani dan para ahli.
Semua potensi ini jika dikelola
dengan Islam akan mampu membangun ketahanan dan kedaulatan pangan sehingga
membawa kesejahteraan bagi rakyat serta akan mengeluarkan rakyat dari krisis
dengan segera.
Sejumlah konsep unggul Khilafah
yang memampukannya mengatasi ancaman krisis pangan pada masa wabah adalah :
Pertama, Peran sentral pengaturan seluruh aspek kehidupan termasuk tata kelola
pangan yang berada di tangan negara/Khilafah. Kedua, negara adalah penanggung
jawab utama dalam mengurusi hajat rakyat yaitu sebagai raain (pelayan/pengurus)
dan junnah (pelindung).
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia
bertanggung jawab terhadap rakyatnya” (HR
Muslim dan Ahmad).
Dengan kedua fungsi politik ini,
maka seluruh rantai pasok pangan akan dikuasai negara. Meskipun swasta boleh
memiliki usaha pertanian, namun penguasaan tetap di tangan negara dan tidak
boleh dialihkan kepada korporasi. Negaralah yang menguasai produksi sebagai
cadangan pangan negara.
Jika penguasaan negara secara
penuh terhadap produksi dan stok pangan, maka negara akan leluasa melakukan
intervensi dalam keadaan apa pun. Seperti ketika dilakukan lockdown, pemenuhan
pangan rakyat sangat mudah dilakukan karena ketersediaan pangan dijamin penuh
oleh negara
Begitu pula penguasaan stok
berdampak pada stabilitas harga di pasar. Sebab distorsi pasar yang ditimbulkan
oleh spekulan, mafia atau kartel disebabkan penguasaan mereka pada stok pangan
melebihi stok negara sehingga leluasa mengendalikan harga. Khilafah juga
memiliki visi ketahanan dan kedaulatan pangan yang diarahkan oleh ideologi
Islam.
0 Comments
Posting Komentar