Oleh:
R. Raraswati
(Freelance
Author)
Sejumlah
pedagang gorengan di pinggir jalan menjerit saat harga minyak goreng melejit
selangit. Tak tanggung, kenaikan harga minyak goreng telah mencapai hampir 50%. Tentu ini tidah hanya berimbas pada penjual
gorengan dan pelaku UMKM lain yang
menggunkan minyak sebagai pendukung usahanya. Ibu rumah tangga pasti juga
terdampak karena minyak goreng merupakan kebutuhan pokok masyarakat.
Kenaikan harga
minyak goreng sudah terjadi beberapa bulan terakhir. Kementerian
Perdagangan (Kemendag) menyampaikan per 1 November 2021 komoditi pangan, minyak
goreng dan cabai mengalami kenaikan harga tinggi.
Dilansir
Kontan.co.id, Selasa (2/11), Oke Nurwan, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri
Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengatakan bahwa komoditi yang mengalami
kenaikan harga cukup signifikan di banding bulan lalu hanya minyak goreng baik
minyak goreng curah, kemasan sederhana dan kemasan premium. Di samping itu, harga cabai
juga mengalami kenaikan.
Direktur
Eksekutif GIMNI (Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia), Sahat Sinaga menganalisis kenaikan harga minyak goreng
disebabkan kurangnya pasokan minyak nabati (oils) dan minyak hewani (fats) di
pasar global . (Kompas.com, 25/10/21).
Kondisi ini
sebagai dampak pandemi yang serba tidak jelas membuat produksi minyak nabati
dan hewani turun. Pasokan keduanya minim, sementara permintaan pasar cenderung
tetap bahkan meningkat. Jika supply dan demand terjadi kepincangan, maka
menurut hukum ekonomi akan terjadi kenaikan harga ekstrim seperti saat ini.
Sebenarnya aneh
jika harga minyak goreng di Indonesia mengalami kenaikan harga tinggi. Pasalnya
Indonesia merupakan pengekspor minyak sawit terbesar di dunia dan menopang kebutuhan
kelapa sawit sampai dengan 85 persen bersama Malaysia. Harga kelapa sawit tidak
mampu dikendalikan oleh negara. Harga dalam negeri sangat bergantung pada harga
CPO di pasar internasional. Padahal, dengan besarnya produksi CPO Indonesia, mestinya
negara mampu mempengaruhi harga internasional. Sedangkan yang terjadi sekarang
justru pasar internasional mengendalikan pasar minyak nabati di Indonesia.
Sampai saat ini,
pemerintah belum melakukan tindakan intervensi yang berarti untuk menurunkan
harga minyak yang kian melejit. Hal ini sangat disayangkan, mengingat minyak
nabati/CPO merupakan kebutuhan banyak orang baik pribadi maupun pelaku usaha.
Saat ini, negara
memiliki peran sebagai pematok harga. Padahal Allah telah mengharamkan negara
mematok harga untuk umum atau sekarang dikenal dengan harga eceran tertinggi
(HET). Allah memberikan hak kepada setiap orang untuk membeli barang dengan
harga yang disukainya. Hal ini sebagaimana disampakan pada sebuah hadist:
“Sesungguhnya
jual beli itu (sah karena) sama-sama suka.” (HR. Ibnu Majah)
Memang penetapan
harga dimaksudkan untuk kebaikan masyarakat. Namun, kenyataannya pematokan
harga justru berpotensi membuka pasar secara sembunyi-sembunyi atau pasar
gelap. Tentu akan berakibat, harga melambung tinggi dan barang-barang hanya
bisa dijangkau oleh orang-orang tertentu. Sedangkan masyarakat yang kurang
mampu akan mengalami kesulitan. Hal ini juga dapat mempengaruhi konsumsi barang
yang selanjutnya berimbas pada produksi.
Dalam setiap
masalah yang terjadi, negara memiliki berperan penting. Negara tidak boleh hanya
menunggu mekanisme pasar berjalan sendiri. Menetapkan HET bukan langkah yang
bisa memberikan solusi. Mestinya, negara membentuk tim khusus untuk
menginvestigasi kemana alur supply CPO berjalan. Pastikan alur sesuai dengan kondisi alami seperti
biasanya. Selidiki kemungkinan ada pihak yang terindikasi melakukan penimbunan
sehingga berakibat kelangkaan CPO.
Semua rantai
distribusi harus diteliti mulai dari pabrik hingga pada tingkat eceran. Hasil temuan
di lapangan harus segera ditindaklanjuti
negara untuk mengambil keputusan selanjutnya. Jika ada pihak yang dengan
sengaja melakukan penimbunan, maka negara harus memberikan hukuman berat.
Negara juga
harus menghitung ulang kebutuhan CPO dalam negeri dan berkoordinasi dengan
produsen CPO melalui gabungan pengusaha kelapa sawit dari tingkat petani sawit,
pemilik kebun sawit maupun pengolah sawit menjadi CPO. Perjalanan distribusi
yang kemungkinan rusak karena ulah tengkulak
harus bisa diputus. Dengan demikian, petani bisa menjual hasilnya dengan harga
yang layak sesuai pasaran.
Selain itu,
negara juga bisa mengatur batas yang dijinkan untuk diekspor perusahaan sawit ke
luar negeri. Dalam syariat Islam, batasan
ekspor adalah jumlah hitungan kebutuhan rakyat dalam negeri ditambah stok
selama kurun waktu tertentu yang dianggap aman dari kejadian tertentu.
Misalnya, faktor musim yang mempengaruhi produksi sawit. Dengan kebijakan ini, in
shaa Allah kebutuhan CPO dalam negeri dapat terjamin ketersediannya dan harga
akan cenderung stabil tanpa harus dipatok oleh negara.
Selanjutnya,
negara hendaknya memiliki daulat terhadap pasar internasional. Negara memiliki kekuatan
dan pengaruh karena besarnya produksi komoditas kelapa sawit. Negara dapat
menentukan harga sendiri tanpa mengikuti pasar internasional. Harga diserahkan pada
pasar secara alami dengan tetap mengontrol transaksi yang terjadi di tengah.
Demikian Islam
mengatur ekonomi dalam kehidupan. Harga dapat dikendalikan negara secara
alamiah. Kecil kemungkinan terjadi kenaikan
harga tinggi terutama pada bahan pokok yang menjadi kebutuhan seluruh
masyarakat. Begitu pula dengan petani yang juga tetap dapat merasakan hasilnya
secara maksimal karena tidak adanya tengkulak yang selama ini menjadikan harga
jual panen rendah.
Wallahua’lam
bish showab.
0 Comments
Posting Komentar