Para “Digital Native” Muslim, Wajib Waspada Jebakan Zona Abu-Abu


Oleh : Aisyah QK, S.Si 

(Aktivis, Content Creator)


Perubahan besar dunia makin hari makin kerasa, terlebih semakin pesatnya perkembangan ruang digital yang menjadi ruang hidup manusia yang baru selama beberapa dekade ini. Total pengguna internet di seluruh dunia berjumlah 5.07 Miliar atau 63.5 % dari jumlah populasi di dunia 8 Miliar. Hal ini termuat dalam Data Reportal pada bulan Oktober 2022 tentang Overview of Internet Use. Peningkatan jumlah pengguna ini diprediksi akan terus meningkat dan mencapai status “Super Mayoritas” dengan rasio 2:1 aktivitas manusia online dibandingkan offline.

Kini dunia mulai merancang untuk beranjak pada Web 3.0 setelah sukses dengan Web 2.0 hingga saat ini. Web 2.0 telah menyebabkan pergeseran cara kita mengakses world wide web. Kita sekarang dapat menggunakan ponsel dan memiliki banyak aplikasi (app) di ujung jari. Ratusan aplikasi baru ditambahkan ke Play Store dan App Store setiap hari. Web 3.0 adalah generasi internet berikutnya yang merupakan masa depan internet.Web 3.0 membuat pengguna mengontrol data mereka sendiri di era metaverse, AI, NFT, dengan web semantic ini. Metaverse akan menyatukan cyberspace dan realitas, dimana manusia dibantu dengan kacamata 3D akan bisa melihat dunia lain yang berbeda secara 3 dimensi, bahkan bisa melakukan aktivitas seperti di dunia nyata.

Sejak berakhirnya perang dingin, menguatnya gelombang kebangkitan Islam, lalu terjadinya percepatan teknologi, yang memiliki konsekuensi sangat luas menggeser tatanan dunia. Samir Saran, Pemimpin ORF (Observer Research Foundation), organisasi think tank India mengungkapkan bahwa tidak ada terknologi sebelumnya yang menciptakan realitas eksternal atau “virtual” seperti teknologi hari ini. Dunia virtual hari ini semakin matang sehingga jarak antara yang nyata dan maya menjadi cepat runtuh. Meskipun dalam ruang digital ini ada batasa-batasan algoritmik yang tidak mampu ditembus oleh pengguna yang dikendalikan oleh para pemilik platform masing-masing.


Perputaran Nilai yang Dikooptasi oleh Kapitalisme

Masyarakat adalah kumpulan individu yang berkumpul, memiliki pemikiran, perasaan, dan peraturan. Dalam hal ini semua hal itu terlihat abstrak tetapi sangat bisa dirasakan. Ruang hidup manusia dengan seluruh aktivitasnya mewadahi semua hal yang abstrak tersebut. Constantinos A. Doxiadis mengungkapkan, “Man, Space, and Activity adalah tiga komponen yang saling mempengaruhi dalam mengonstruksi ruang hidup”. Dalam ruang hidup ini pastilah terjadi pertukaran nilai dan pertukaran harta, sehingga pembangunan ruang akan membentuk tatanan nilai di tengah masayarakat. Arah pembangunan ruang dan infrastruktur dikendalikan oleh ideologi yang ada, dalam hal ini telah dimonopoli dan dikuasai oleh ideologi Kapitalisme.

Fikroh yang mendasari politik Kapitalisme yaitu sekulerisme, pemisahan antara agama dengan kehidupan yang terus disebarkan ke seluruh dunia. Adapun thoriqahnya adalah dengan penjajahan (imperialism), yaitu pemaksaan dominasi politik, militer, budaya, dan ekonomi atas bangsa-bangsa yang dikuasai untuk dieksploitasi. Thariqah ini bersifat tetap meskipun berganti rezim dan undang-undangnya. Sementara uslub-uslub untuk mewujudkan penjajahan dan pandangan terhadap penjajahan mengalami perkembangan. (Mafahim Siyasi)

Perkembangan teknologi yang sangat pesat hari ini menjadi akselator penjajahan yang dilakukan oleh para Kapitalis (pemilik modal) dengan monopoli pasar di seluruh dunia khususnya di negeri-negeri muslim yang notabene merupakan negeri terjajah. Disaat yang sama Kapitalisme juga menggempur generasi muslim dengan nilai-nilai mereka, yaitu hedonisme, materialisme, feminisme, dan racun-racun isme yang lain hingga membuat kaum muslimin jauh dari identitas muslimnya, bingung dalam membedakan mana yang benar dan salah karena sangat kabur pandangannya tentang kehidupan.

Gempuran budaya popular makin mandarah daging di berbagai belahan dunia. Pada awal perkembangannya di Eropa, Budaya Populer lebih banyak dimaknai sebagai budaya yang melekat dengan kehidupan masyarakat pada kelas sosial bawah, dimana menjadi pembeda dari budaya pada elite tertentu yang tinggi. Selain itu, Budaya populer juga sering kali identic dengan istilah ‘mass culture’ atau budaya massa, yang diciptakan serta dinikmati secara masal. Budaya Pop bersifat kontemporer, dimana budaya ini bisa berubah sewaktu- waktu dan muncul secara unik di berbagai tempat dan waktu yang berlainan, mengikuti perkembangan zaman, serta eksistensinya sedang berkembang baik di masyarakat. Dalam perkembangannya, budaya pop membentuk arus perputaran dalam kehidupan yang dinilai dapat mewakili suatu pandangan tentang suatu ketergantungan yang saling menguntungkan dalam lingkup yang relatif kompleks, serta memiliki nilai-nilai yang berpengaruh kuat pada masyarakat dan lembaga-lembaganya dengan beragam cara. Budaya Populer (Pop Culture) menurut Wikipedia yaitu meliputi budaya untuk konsumsi massa, khususnya bermula di Amerika Serikat, digunakan pada akhir Perang Dunia II. 

Hari ini kita berada dalam arus “Pop Culture” yang semakin pesat dengan masifnya media sosial. Namun sayangnya arus ini bernafaskan ideologi Kapitalisme, sehingga kumpulan ide-ide hedonisme, sekulerisme, pluralisme, materialisme, maupun feminisme ini menembus kehidupan kaum muslimin dan memberikan tantangan baru bagi para pemuda muslim. Pemuda muslim yang sudah terjun dalam dunia dakwah, berusaha untuk menyerang pemikiran bathil yang ada di tengah masyarakat harus bekerja keras dalam mengarungi arus desrupsi teknologi informasi dan kepungan budaya Pop ini. Kalangan da'i muda kreatif mendapat bursa pahala yang besar karena mereka memiliki skill kreativitas dalam membungkus konten dakwah untuk memaksimalkan jangkauan target dakwah. Di sisi lain mereka juga diintai bahaya popularitas karena ukuran keberhasilan dakwah seolah terhenti pada jumlah follower, subscriber atau like and share.  Wajar, karena popularitas telah menjadi standar kesuksesan baru dalam arus pop culture bahkan menjadi standar moral yang abu-abu atau tidak jelas, dan lebih bahayanya dijadikan kaki tangan oleh para Kapitalis secara tidak langsung. Naudzubillah.


Menjadi Digital Native Muslim yang Berintegritas

Islam diturunkan untuk membebaskan manusia dengan kemerdekaan yang hakiki. Kemerdekaan hakiki itu adalah terbebasnya manusia dari penghambaan kepada selain Allah SWT. Peradaban hari ini terbukti rusak dan gagal dalam membangun manusia, meskipun berbagai macam pembagunan fisik (materi) terlihat nyata. Menjadi generasi mahir teknologi tanpa mengemban ideologi Islam tentu akan menyesatkan dan merugikan. Maka para “digital native” muslim di akhir zaman ini butuh mencetak diri menjadi generasi yang berintegritas, generasi risalah. 

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” (QS. Ali Imron:110)

Menurut pandangan Umar bin Khattab, generasi risalah adalah generasi para sahabat dan generasi umat Islam secara umum yang memenuhi kualifikasi seperti pada QS. Ali Imron ayat 110 diatas. Mereka melakukan 3 hal, yaitu amar ma’ruf, nahi munkar, dan beriman kepada Allah SWT. Generasi risalah ini juga disebut dengan kualifikasi “muslih” oleh Imam Al-Ghazali, yaitu setingkat lebih baik daripada shalih. Shalih hanyalah berada pada level individu, sementara muslih melakukan perbaikan ditengah kerusakan. Menjadi muslih tentu lebih berisiko menerima penolakan, tidak disukai kebanyakan orang, tidak mendapat panggung, tidak eksis, dan lain sebagainya. Ketika kita melakukan aktivitas perbaikan di dunia nyata maupun maya, maka membutuhkan keikhlasan yang luar biasa, hanya mengharap ridho Allah saja, bukan lainnya.

Pertama, generasi muslim harus memiliki kematangan pengetahuan dan ilmu Islam yang menjadi landasan berpikir dalam kehidupan. Maka  hal ini tentu hanya  bisa didapatkan dan dikuatkan melalui pembinaan-pembinaan Islam intensif yang shahih (benar) hingga akhirnya terbentuk pola pikir dan pola sikap sesuai dengan Islam. Selanjutnya dengan ilmu dan pengetahuan Islam yang matang, generasi muslim tidak gagap dalam menghukumi banjirnya informasi dan fakta yang dikonsumsi setiap hari di media sosial, juga tidak hanyut dalam budaya pop yang semakin mendunia. 

Kedua, generasi muslim harus menguasai skill teknis yang berkaitan dengan teknologi sesuai dengan medan dakwahnya, misalnya peningkatan keahlian di bidang visual, audio, dan lain sebagainya. Hal ini digunakan sebagai wasilah (sarana) dalam mengemas pemikiran-pemikiran Islam agar bisa dipahami masyarakat dengan lebih mudah sehingga masyarakat mendapati bahwa Islam mampu menyelesaikan berbagai persoalan.

Ketiga, generasi muslim juga wajib memahami berbagai rambu-rambu syariat Islam di media sosial. Media sosial adalah ruang publik yang semua data kita bisa terbaca oleh sistem atau Big Data. Jangan sampai keberadaan dakwah di media justru membuat para da’i melakukan pelanggaran-pelanggaran, misalnya terjebak riba, khalwat, kata-kata kotor, atau hal-hal lain yang justru akan merusak esensi dakwah itu sendiri, dan tentunya akan menyebabkan dosa. Naudzubillah.

Semoga kita bisa melayakkan diri, menjadi “digital native” yang berintegritas dengan Islam hingga kelak Allah SWT memperkenankan kita menjadi bagian dari pemuda-pemuda yang dipersilakan bersemayam di surga-Nya. Aaamiin..

Wallahu ‘alam bisshowab

0 Comments

Posting Komentar