Kenaikan ONH (Ongkos Naik Haji) Untuk Siapa?



Oleh. Sri Astutik Handayani


Naik-naik ke puncak gunung, makin tinggi tarif haji kian melambung. Baru-baru ini ongkos naik haji bakal naik dua kali lipat, ujar Kementerian Agama, mengusulkan rencana terkait kenaikan biaya haji di tahun 2023 ini. Usulan ini tentu bukan kabar baik buat calon jemaah haji. Lantas sebenarnya untuk siapa rencana ini akan diajukan?

Saat ini diisukan bahwa usulan pada ONH (ongkos naik haji) menjadi sorotan masyarakat, bukannya haji merupakan kewajiban untuk umat Islam yang mampu untuk menjalaninya. Jika terjadi kenaikan, sungguh hal ini sangat menyinggung

Dan sangat kapitalis untuk mencari keuntungan bagi pemerintah tersendiri. Kenaikan ini sangat tidak masuk akal umat, bahkan hal ini akan menyengsarakan umat dalam melaksanakan kewajiban menjalankan haji.

Sebelumnya, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengusulkan rerata kenaikan biaya perjalanan ibadah haji pada tahun ini atau periode 1444 Hijriah. Usul biaya haji ini disampaikan dalam rapat kerja bersama Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta PR.com (Kamis, 19/01/ 2023).

Ia mengusulkan rerata biaya haji pada tahun ini sebesar Rp69.193.733 per orang atau bila dibulatkan sebesar Rp69 juta. "Usulan ini atas pertimbangan untuk memenuhi prinsip keadilan dan keberlangsungan dana haji", kata Menteri Yaqut. "Formulasi ini juga telah melalui proses kajian."


Adapun biaya perjalanan ibadah haji tersebut mencakup 70 persen dari rata-rata biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang diusulkan Rp98.893.909 per orang atau sekitar Rp98 juta. Nilai BPIH yang diusulkan pada tahun ini naik Rp514.888 ketimbang tahun lalu karena ada perubahan signifikan dalam komposisinya.

Bila dibandingkan dengan tahun lalu, biaya haji 2023 yang dibebankan ke jemaah naik hampir dua kali lipat dari angka Rp39,8 juta. Ongkos naik haji ini juga bertambah ketimbang tahun 2018 hingga 2020 yang hanya mematok biaya Rp35 juta. Usulan ONH (ongkos naik haji) tersebut sangat tidak empati bahkan harus di tolak untuk di terapkan dalam sebuah aturan yang akan diterapkan mendatang.

 "Pernyataan ini  sangat menyakitkan, dan sangat tidak empatis, karena itu wajib untuk tidak disuarakan, wajib di tolak dan wajib di bedah," tutur ketua DPP PKS Bidang Teknologi, Industri dan Lingkungan Hidup. Dr H.Ali Mardani (24/01/23) YouTube Pusat Analisis Data.

Hal ini juga di sampaikan oleh anggota DPR Komisi Agama Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bukhori. Bukhori menyatakan PKS tidak hsepakat dengan usulan pemerintah tersebut.  

PKS menilai usulan menaikkan biaya haji 2023 menjadi Rp69 juta menyulitkan masyarakat bawah. Jika pun masyarakat akhirnya tetap setuju untuk berangkat, kata dia, mereka akan menggerutu. Apalagi, dia menyebut tahun-tahun sebelumnya jemaah haji Indonesia “dimanjakan” dengan bantuan dana subsidi. “Sementara tahun ini terjadi kenaikan sangat memberatkan. Itulah saya kira pertimbangan masyarakat,” Kantor DPP PKS, Tempo.Com Jakarta (Jumat, 20/01/ 2023).

Sungguh hal ini sangat miris dan menjadi keuntungan bagi pemerintah tersendiri dengan adanya program ongkos naik haji (ONH). Karena hal ini sangat menyulitkan bagi masyarakat yang dalam ukuran ekonomi kelas menengah ke bawah.

Seharusnya negara memberi tindakan atau usulan yang sekiranya tujuannya memberikan keringanan bagi umat Islam untuk pergi ibadah haji. Bahkan seharusnya lagi Haji ini tidak di rasionalisasi dan tidak di matematikakan.

Tujuan haji ini untuk membersihkan jasmani dan rohani bagi jiwa kita, lingkungan persaudaraan bahkan sosial Indonesia.  Tak rugi dan tak terbebani harusnya, jika pemerintah membantu masalah biaya keringanan masyarakat untuk pemberangkatan haji. Dan  tidak boleh berhitung-hitung dalam bab haji, karena hal ini merupakan kewajiban qath'i, tegas dan jelas bagi umat Islam. 

Menurut catatan sejarah menunjukkan betapa besar perhatian dan pelayanan yang diberikan para khalifah kepada jemaah haji dari berbagai negara. Mereka dilayani dengan sebaik-baiknya sebagai tamu-tamu Allah. Pelayanan itu dilakukan tanpa ada unsur bisnis, investasi atau mengambil keuntungan dari pelaksanaan ibadah haji. Semua merupakan kewajiban yang harus dijalankan negara.

Ada beberapa langkah yang dilakukan oleh Khilafah dalam melayani para jemaah haji ini. Pertama, Khalifah menunjuk pejabat khusus untuk memimpin dan mengelola pelaksanaan haji dengan sebaik-baiknya. Mereka dipilih dari orang-orang yang bertakwa dan cakap memimpin. Rasulullah saw, pernah menunjuk ‘Utab bin Asad, juga Abu Bakar ash-Shiddiq ra, untuk mengurus dan memimpin jemaah haji. Rasulullah saw Juga pernah memimpin langsung pelaksanaan ibadah haji pada saat haji wada’. Pada masa kekhilafahan Umar ra, pelaksanaan ibadah haji pernah diserahkan kepada Abdurrahman bin Auf ra. Ibadah haji juga pernah dipimpin oleh Khalifah Umar ra, hingga masa akhir kekhilafahannya. Pada masa Khalifah Utsman ra, pelaksanaan haji juga pernah dipimpin oleh Abdurrahman bin Auf ra.

Kedua, Jika negara harus menetapkan ONH (ongkos naik haji), maka nilainya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jemaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah-Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari Tanah Suci. Dalam penentuan ONH (ongkos naik haji) ini, paradigma negara Khilafah adalah syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus urusan jamaah haji dan umrah). Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi. 

Khilafah juga bisa membuka opsi: rute darat, laut dan udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang berbeda.

Ketiga, Khalifah berhak untuk mengatur kuota haji dan umrah. Dengan itu keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jemaah haji dan umrah. Dalam hal ini, Khalifah harus memperhatikan: (1) Kewajiban haji hanya berlaku sekali seumur hidup; (2) Kewajiban haji hanya berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Bagi calon jemaah yang belum pernah haji, sementara sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, maka mereka akan diprioritaskan. Dengan begitu antrian panjang haji akan bisa dipangkas karena hanya yang benar-benar mampu yang diutamakan.

Keempat, Khalifah akan menghapus visa haji dan umrah. Pasalnya, di dalam sistem Khilafah,kaum Muslim hakikatnya berada dalam satu kesatuan wilayah. Tidak tersekat-sekat oleh batas daerah dan negara, sebagaimana saat ini. Seluruh jemaah haji yang berasal dari berbagai penjuru dunia Islam bisa bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas, bisa KTP atau Paspor. Visa hanya berlaku untuk kaum Muslim yang menjadi warga negara kafir, baik kafir harbi hukm[an] maupun fi’l[an].

Kelima, Khalifah akan membangun berbagai sarana dan prasarana untuk kelancaran, ketertiban, keamanan dan kenyamanan para jemaah haji. Dengan begitu faktor-faktor teknis yang dapat mengganggu apalagi menghalangi pelaksanaan ibadah haji dapat disingkirkan sehingga istitha’ah amaniyah dapat tercapai.

Pembangunan sarana-prasarana haji mencakup sarana transportasi menuju Tanah Suci hingga tempat-tempat pelaksanaan ibadah haji seperti Masjidil Haram, Mina, Arafah, dan sebagainya. Semua itu dimaksudkan agar bisa menampung banyak jemaah serta dapat memberikan kemudahan dan kenyamanan beribadah.

Pada masa Khilafah Utsmaniyah, Sultan ‘Abdul Hamid II membangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji yang dikenal sebagai Hijaz railway. Jauh sebelum Khilafah Utsmaniyah, Khalifah ‘Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah), termasuk membangun saluran air yang menjamin jemaah haji tidak kekurangan air sepanjang perjalanan. Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum, yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal. Pembangunan saluran air bagi jemaah haji itu diinisiasi oleh istri Khalifah Harun ar-Rasyid yang bernama Zubayda. Diriwayatkan untuk proyek itu ia mengeluarkan uang hingga 1,7 juta dinar atau setara dengan tujuh triliun dua ratus dua puluh lima miliar rupiah.

Semua aktivitas khilafah dalam pengurusan haji itu dilakukan dengan prinsip ri’ayah (pelayanan), bukan bersifat komersil atau mengambil keuntungan dari jamaah. Berbeda dengan hari ini, pengurusan haji diurus oleh negara masing-masing tanpa ada kesatuan pelayanan karena tiada kesatuan kepemimpinan. Akibatnya, sering muncul konflik kepentingan dan kesemrawutan semisal pembagian kuota, komersialisasi hotel, tiket, katering, dsb.

Demikianlah keagungan pelayanan haji yang dilakukan oleh para khalifah. Mereka benar-benar berkhidmat melayani tamu-tamu Allah sesuai dengan syariah Islam. Tanpa pelayanan dari pemimpin yang bertumpu pada syariah, pelaksanaan ibadah haji sering terkendala, dan bukan tidak mungkin menjadi ajang mencari keuntungan bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Dalam Islam sangat jelas menyatakan haji merupakan sebuah kebutuhan dalam umat Islam untuk menjalani ibadah yang sempurna.  bahwasannya ada keutamaan menarik dari ibadah haji dengan keutamaan jihad,sebagaimana Baginda Nabi Saw pernah bersabda dalam hadis :

وفد الله ثلثة : الغا ز ي، و الحا ج، و المعتمر

"Duta Allah itu ada tiga : orang yang terlibat dalam perang (di jalan Allah), orang yang beribadah haji dan orang yang berumrah. (HR. Al-Hakim dan Al- Baihaqi).

 Yang setara dalam jihad ada sebuah hadis menyatakan bahwa :

ا فضل الجها د كلمة حق عند سلطا ن خا ءر

"Jihad yang paling utama adalah menyatakan kebenaran di hadapan penguasa yang lalim." (HR. at-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Dalam hal ini seharusnya negara memfasilitasi pelayanan segala kebutuhan jemaah haji dengan keringanan biaya,kenyamanan trasportasi dan lain-lain.

Semua ini terlaksana jika negara mengikuti sistem Islam secara kaffah, yang didalamnya mampu untuk mengikuti peraturan yang syariah lebih mengutamakan suara rakyat untuk menetapkan sebagai usulan dan tindakan apapun. 


Wallahu'alam bishowwab.


0 Comments

Posting Komentar