Permasalahan Stunting Anak, Bagaimana Solusi Islam?

Permasalahan Stunting Anak, Bagaimana Solusi Islam?




Oleh: Sri Astutik Handayani

(Muslimah Jawa Timur)


Akhir-akhir ini diisukan dengan permasalahan stunting anak khususnya pada tumbuh kembangnya balita. Tumbuh kembang anak sangat perlu di perhatikan khususnya bagi pemerintah tersendiri, untuk melakukan hal-hal yang membuat kemajuan dalam program stunting anak menjadi baik. Karena setiap orang tua memiliki harapan untuk anak sehat dan menjadi generasi penerus harapan di masa mendatang. Agar tidak terjadi permasalahan dengan bertambahnya angka stunting yang membuming ini, bagaimana solusi Islam mengatasinya?


Seperti laporan Badan Organisasi Kesehatan Dunia, diperkirakan ada sekitar 149 juta balita yang mengalami stunting pada tahun 2020 di seluruh dunia, sementara ada sekitar 45 juta anak lainnya memiliki tubuh terlalu kurus (berat badan rendah). Saat ini, Indonesia menjadi salah satu negara dengan prevalensi stunting yang cukup tinggi sekali jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang dilihat pendapatan kelas menengah. Sementara berdasarkan data yang diperoleh secara nasional, stunting angkanya masih tinggi, yaitu di angka 27,6% pada tahun 2019, sementara saat pandemi Covid-19 ini naik menjadi 27,68 %. (Suaramerdeka.com, 7/07/2021). ini sangat miris sekali jika dilihat.


Dalam hal ini membutuhkan suatu penanganan yang tepat untuk mengatasi problem dalam bengkaknya presentase  masalah stunting anak. Karena Indonesia sudah dipandang cukup tinggi presentase daripada negara lain, berarti butuh dilihat dengan cermat dari penyebabnya. Dan untuk program apa yang tepat untuk mengurangi masalah penurunan stunting anak yang pastinya akan di utamakan beberapa anggaran yang dibutuhkan untuk memecahkan rekor dalam penanganannya.


Bupati Jember Ir. H. Hendy Siswanto menggelar rapat koordinasi dengan agenda “Rasionalisasi Anggaran Penanganan Stunting”, bersama jajaran Kepala OPD (organisasi perangkat desa) Pemkab Jember, Rabu 01/02/2023.


Rasionalisasi anggaran ini diperlukan supaya penanganan stunting beserta turunannya dapat maksimal dan terukur. Semua OPD (organisasi perangkat daerah) harus terlibat dalam penanganan stunting dan turunannya, tentunya sesuai dengan programnya masing-masing yang akan diterapkan kedepannya ” ungkap Bupati Hendy Siswanto.


Stunting adalah keadaan anak mengalami tumbuh kembang yang terhambat karena kekurangan asupan gizi dan nutrisi. Kita bisa melihat dari asupan pangan yang kurang baik atau dari segi ekonomi hingga mempersulit dalam kehidupan keluarga. Dan di sini yang menjadi peran penting tidak hanya kesehatan pada bayi, balita dan anak, juga kesehatan ibu  menjadi pendukung tempat tumbuh kembangnya seorang anak menjadi baik.


 Permasalahan turunnya angka stunting adalah salah satu indikator secara global tentang baik atau tidaknya perkembangan anak di dalam suatu negara. Kasus stunting yang terjadi di suatu negara juga dapat merefleksikan ketimpangan sosial dan ekonomi yang terjadi di masyarakatnya. Dan tidak hanya itu, penurunan stunting ini berdampak pada AKI (angka kematian ibu) dan AKB (angka kematian bayi).


Terdapat upaya Pemerintah Kabupaten Jember dalam menurunkan stunting yang sangat luar biasa. Beberapa indikatornya ialah Pemerintah Kabupaten Jember mempunyai 2500 orang kader dan anggota TPPS (Tim Percepatan Penurunan Stunting) yang siap sedia bergabung untuk mencegah serta menurunkan angka stunting, angka kematian ibu dan angka kematian bayi (AKI-AKB). Terbukti penurunan angka stunting di Jember berada pada 6,14 persen di 2022, lebih baik dari tahun lalu 2021 sebesar 23,5 persen. Kepala BKKBN RI Dr. (Hc), dr. Hasto Wardoyo, SP. Og (K) menetapkan Kabupaten Jember sebagai Pusat Gerakan Penurunan Stunting. Pemkab Jember (30/01/23). Hal ini mengalami perubahan secara berangsut setiap tahunnya dengan secara baik.


Dalam mencegah penurunan AKI dan AKB membutuhkan semua pihak yang ikut tergabung di dalamnya. Tentunya dengan adanya pelatihan fasilitator tim pendamping keluarga ini, akan berdampak signifikan bagi penurunan stunting,” ujar Bupati Hendy.


Jadi, pemerintah harus memberikan penanganan dalam program stunting ini sangat penting, seperti  langkah yang sedang dijalankan Pemkab Jember kali ini adalah penimbangan dan pemberian vitamin A kepada balita,anak dan bayi khususnya secara serentak se-Kabupaten Jember.


Langkah ini melibatkan seluruh petugas kesehatan, kader posyandu, aparat kelurahan/desa, Ketua RT, RW, kader posyandu, pramuka, PKK, dan relawan. Karena tumbuh kembang anak diukur dengan program-program yang diberikan pemerintah agar tidak terjadi permasalahan stunting pada anak tersebut.

 Dalam program penurunan stunting membutuhkan semua pihak berperan baik pemerintah, dan tim sukses kesehatan. Tetapi hal ini pasti butuh biaya besar dalam menjalankan program ini. Sangat berbeda sekali jika kita melihat dalam lingkup sistem islam untuk mengatasi hal ini.


Nah, Jika kita mengutip dalam solusi Islam, bahwa kesejahteraan rakyat sangat diutamakan baik dalam hal kesehatan, kebutuhan harga pangan dan lingkungan. Sedangkan Islam jelas bahwa Negara yang memiliki Baitul Maal (kas negara) yang akan menyalurkan bantuan terhadap keluarga-keluarga yang miskin secara cepat dan tepat, sehingga dipastikan tidak ada yang sampai kekurangan bahkan kelaparan pada keluarga tersebut, sehingga kondisi stunting pada anak-anak muslim akan bisa dicegah secara massif dan penuh kepedulian. Bahkan jika kas negara kosong pun, maka akan ditanggung oleh kaum muslim secara kolektif. Selain itu, keberadaan kepala negara dalam kalangan sistem Islam dia akan memaksimalkan peranannya sebagai raa’in (pengurus umat), dia akan memaksimalkan berbagai sumber-sumber pemasukan negara, baik melalui fa’i, khumus, ghanimah, jizyah, ushr, ataupun rikaz.


Seorang pemimpin seharusnya tidak akan memperkaya diri sendiri manakala melihat kondisi rakyatnya masih banyak yang kesusahan bahkan kekurangan dalam kehidupan pokok atau kesehatan. Contohlah bagaimana sosok Umar bin Khattab yang rela keliling setiap malam dan memanggul gandum untuk dibagikan kepada warganya yang miskin. Kesejahteraan jika dinaungi dalam Islam akan terjamin dalam hal apapun, apalagi masalah tumbuh kembang anak. 


Dan solusi masalah stunting secara syariah membutuhkan upaya terstruktur atau sistematis  yang membutuhkan peranan negara dengan memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar, juga pendidikan dan kesehatan yang gratis dan berkualitas. Stunting tidak dipandang sebatas kurangnya pengetahuan terhadap pemenuhan gizi dan nutrisi, tapi karena lebih kondisi kemiskinan yang memaksa warga ada pada kondisi serba kurang. Maka, wajar kondisi malnutrisi (kekurangan gizi) itu sudah pasti akan terus ada selama permasalahan miskin ini tidak diatasi. Tentu semua ini hanya akan bisa kita wujudkan dan diatasi secara tuntas manakala Islam diterapkan secara kaffah (menyeluruh) atau tergeraknya sistem Islam, yang mengatur segala kebutuhan masyarakat muslim yang harus diatur oleh negara sekaligus dijadikan aturan bagi seluruh bidang kehidupan untuk menjamin dalam kesejahteraan masyarakat muslim.

Waallahu a'lam bisowwab.

Valentine Day : Mencari Makna Cinta Sejati!

Valentine Day : Mencari Makna Cinta Sejati!

 


Oleh. Helmiyatul Hidayati, S. Ilkom.

(Blogger Profesional, Freelance)

 

Bulan Februari dinobatkan sebagai bulan kasih sayang oleh dunia, karena pada pertengahan Februari, tepatnya tanggal 14 Februari dirayakan sebagai hari Valentine atau hari berkasih sayang. Perayaan hari Valentine ini biasanya dilakukan oleh para pemuda dan pemudi dengan memberikan coklat, bunga, puisi cinta kepada pasangannya. Kadang pula dijadikan moment untuk ‘menembak’ seseorang agar menjadi kekasih, atau dijadikan hari spesial untuk melamar pasangannya.

 

Hari yang dianggap penuh cinta dan kehangatan ini berbanding terbalik dengan sejarahnya. Berbagai referensi menyebutkan sejarah Valentine sama sekali jauh dari gambaran indah yang manis dan romantis. Bahkan disebutkan penuh darah dan duka.

 

Pada abad ke-3, pendeta Santo Valentino dihukum pancung oleh Kaisar Claudius karena melanggar perintah berani menikahkan pemuda-pemudi. Pada masa itu Kaisar mengeluarkan kebijakan larangan menikah karena dia membutuhkan prajurit. Nama pendeta inilah yang kemudian diyakini sebagai asal-muasal hari Valentine dan tanggal 14 Februari adalah hari dimana dia dieksekusi.

 

Referensi lain menyebutkan bahwa asal mula Valentine adalah dari perayaan Lupercalia di Romawi Kuno. Pada perayaan ini para pria mengurbankan kambing dan anjing, kemudian berlari telanjang ke bukit Palatine. Perayaan ini penuh kekerasan dan perjodohan paksa, karena setelah itu mereka mencambuki para wanita. Cambukan ini diyakini memberikan berkah kesuburan bagi wanita.

 

Lupercalia sendiri adalah dewa dalam aliran pagan yang berkembang pada masa itu. Dia diyakini memiliki kepala dan kaki yang berbentuk kambing. Ia diyakini pula menikah dengan Dewi Aphrodite dan memiliki anak yang bernama dewa Cupid (Eros). Cupid ini sangat terkenal di kalangan para pemuda dan pemudi masa kini, karena dianggap dewa cinta, dengan anggapan bahwa siapa yang terkena panah cupid akan jatuh cinta. Padahal sebenarnya Cupid melakukan perbuatan keji dengan mengawini ibunya sendiri.

 

Dari berbagai referensi asal muasal hari Valentine, sangat jelas bahwa hal tersebut tidak memiliki kaitan dengan Islam. Maka pemuda dan pemudi Islam harus memahami bahwa haram ikut merayakan hari Valentine. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.”

 

Namun, sungguh disayangkan, hari yang katanya digunakan untuk merayakan cinta, kehangatan dan kasih sayang ini justru dipenuhi dengan kemaksiyatan. Menjelang Valentine, selain coklat, penjualan kondom juga meningkat. Pihak berwenang seperti kepolisian biasanya juga selalu membuahkan “hasil” ketika melakukan razia di hotel-hotel, menemukan banyak pasangan bukan suami istri yang menginap dan melakukan perbuatan terlarang. Selain itu, banyak pesta Valentine yang penuh dengan kemaksiatan dengan dalih bersenang-senang juga dilakukan di berbagai tempat.

 

Menurut penulis, tidak heran bila mengatakan bahwa Valentine adalah salah satu propaganda untuk menjauhkan pemuda dan pemudi Islam dari agamanya. Valentine merupakan salah satu gaya hidup yang dibawa barat yang berbasis sekuler, kebebasan dan konsumerisme.

 

Paling tidak, ada 3 (tiga) alasan kenapa menjadi target arus gaya hidup barat ini; Pertama, serangan gaya hidup dan eksploitasi sumber daya ekonomi. Semakin pemuda terjerat dalam gaya hidup barat, maka ia akan makin konsumtif, bahkan konsumerisme kerap menjadi tolak ukur kesuksesan. Akhirnya banyak pemuda melakukan berbagai cara demi memenuhi kebutuhan konsumtifnya. Tanpa disadari, hal ini sebenarnya memaksimalkan penjualan produk-produk yang diproduksi oleh kapitalis dan mendatangkan profit bagi mereka (muslimahnews.net).

 

Kedua, Pemuda dianggap sebagai aset industri atau tenaga kerja. Tidak dipungkiri untuk dapat memenuhi gaya hidup, dibutuhkan daya beli. Karena itu para pemuda butuh pekerjaan, jenis profesi pada zaman sekarang juga dianggap bisa menunjukkan indikator keberhasilan. Mereka tidak sadar bahwa dalam kapitalisme, tenaga kerja adalah input produksi, maka berlaku hukum biaya terkecil.

 

Ketiga, pemuda menjadi sabuk penguat industrialisasi. Masyarakat dibujuk membeli barang yang sesungguhnya tidak mereka butuh. Artinya hanya membeli karena keinginan atau memenuhi kepuasan batin. Kita bisa melihat contohnya pada penggemar K-Pop yang biasanya mati-matian demi membeli album atau pernak-pernik idolanya, padahal sebenarnya alat-alat itu bukan merupakan kebutuhan hidup mereka.

 

Perayaan cinta besar-besaran dan sangat masif digencarkan oleh berbagai media ini sayangnya tidak dibarengi dengan pahamnya mereka akan makna cinta sejati. Pada kenyataannya banyak cinta antara pemuda-pemudi yang tidak berakhir bahagia. Mereka menganggap menemukan cinta sejati, aslinya itu hanya fana semata.

 

Islam telah menjelaskan makna cinta sejati. Hal ini ditulis oleh Syaikh Taqiyyudin an-Nabhani dalam kitabnya Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah, bahwa cinta sejati adalah cinta karena Allah, yakni mencintai seseorang karena keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT.

 

Jika melihat fenomena sekarang, maka banyak sekali kondisi yang jauh dari makna cinta sejati. Misalnya pacaran sebelum menikah, bagaimana bisa dikatakan cinta sejati, jika jalan menemukan jodoh dilakukan dengan kemaksiyatan dan melanggar perintah Allah. Belum lagi dalam banyak kasus pacaran yang buruk berakhir dengan zina dan hamil di luar nikah, pembunuhan oleh pasangan karena tidak mau bertanggung jawab dsb.

 

Ada juga yang telah menikah, namun berselingkuh di belakang pasangan hingga berakhir pada perceraian. Bagaimana bisa dikatakan cinta sejati, jika mengisi rumah tangga dengan kemaksiyatan. Belum lagi dalam banyak kasus, banyak orang tua yang menelantarkan anak hingga kepala keluarga yang lepas tanggung jawab, jangankan memberi nafkah, memberik kabar saja tidak.

 

Bagaimana pula bisa dikatakan cinta sejati terhadap kondisi pernikahan antara pria dan wanita yang berbeda agama atau penikahan sesama jenis?? Ini bukan penyatuan cinta sejati namun kesepakatan bersama menantang Allah karena nyata melakukan apa yang dilarang oleh Allah.

 

Bilapun dalam kondisi-kondisi tersebut mereka tetap menemukan kebahagiaan, ketenangan dan kenyamanan, maka sesungguhnya itu semu semata. Karena kelak Allah akan meminta pertanggungjawaban. Dan di hari itu orang yang saling mencintai di dunia bukan karena ketaatan dan keimanan kepada Allah akan saling memusuhi dan menyalahkan karena takutnya mereka akan adzab Allah di akhirat.

 

“Orang-orang yang (semasa di dunia) saling mencintai pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa (QS. Az Zukhruf: 67).Syaikh Abdurrahman As- Sa’diy menafsirkan, “Karena persahabatan dan kecintaan mereka di dunia bukan karena Allah, maka berubah menjadi permusuhan di hari kiamat.”

 

Karena itu penting sebagai pemuda yang sedang mencari cinta sejati untuk selalu berada di jalan Allah mulai dari ikhtiar mencari pasangan hingga menjalani kehidupan berumah tangga. Islam menjadi sandaran utama, bukan sekadar menurutkan nafsu belaka.

 

Walalhu a’lam bis shawab..

Para “Digital Native” Muslim,   Wajib Waspada Jebakan Zona Abu-Abu

Para “Digital Native” Muslim, Wajib Waspada Jebakan Zona Abu-Abu


Oleh : Aisyah QK, S.Si 

(Aktivis, Content Creator)


Perubahan besar dunia makin hari makin kerasa, terlebih semakin pesatnya perkembangan ruang digital yang menjadi ruang hidup manusia yang baru selama beberapa dekade ini. Total pengguna internet di seluruh dunia berjumlah 5.07 Miliar atau 63.5 % dari jumlah populasi di dunia 8 Miliar. Hal ini termuat dalam Data Reportal pada bulan Oktober 2022 tentang Overview of Internet Use. Peningkatan jumlah pengguna ini diprediksi akan terus meningkat dan mencapai status “Super Mayoritas” dengan rasio 2:1 aktivitas manusia online dibandingkan offline.

Kini dunia mulai merancang untuk beranjak pada Web 3.0 setelah sukses dengan Web 2.0 hingga saat ini. Web 2.0 telah menyebabkan pergeseran cara kita mengakses world wide web. Kita sekarang dapat menggunakan ponsel dan memiliki banyak aplikasi (app) di ujung jari. Ratusan aplikasi baru ditambahkan ke Play Store dan App Store setiap hari. Web 3.0 adalah generasi internet berikutnya yang merupakan masa depan internet.Web 3.0 membuat pengguna mengontrol data mereka sendiri di era metaverse, AI, NFT, dengan web semantic ini. Metaverse akan menyatukan cyberspace dan realitas, dimana manusia dibantu dengan kacamata 3D akan bisa melihat dunia lain yang berbeda secara 3 dimensi, bahkan bisa melakukan aktivitas seperti di dunia nyata.

Sejak berakhirnya perang dingin, menguatnya gelombang kebangkitan Islam, lalu terjadinya percepatan teknologi, yang memiliki konsekuensi sangat luas menggeser tatanan dunia. Samir Saran, Pemimpin ORF (Observer Research Foundation), organisasi think tank India mengungkapkan bahwa tidak ada terknologi sebelumnya yang menciptakan realitas eksternal atau “virtual” seperti teknologi hari ini. Dunia virtual hari ini semakin matang sehingga jarak antara yang nyata dan maya menjadi cepat runtuh. Meskipun dalam ruang digital ini ada batasa-batasan algoritmik yang tidak mampu ditembus oleh pengguna yang dikendalikan oleh para pemilik platform masing-masing.


Perputaran Nilai yang Dikooptasi oleh Kapitalisme

Masyarakat adalah kumpulan individu yang berkumpul, memiliki pemikiran, perasaan, dan peraturan. Dalam hal ini semua hal itu terlihat abstrak tetapi sangat bisa dirasakan. Ruang hidup manusia dengan seluruh aktivitasnya mewadahi semua hal yang abstrak tersebut. Constantinos A. Doxiadis mengungkapkan, “Man, Space, and Activity adalah tiga komponen yang saling mempengaruhi dalam mengonstruksi ruang hidup”. Dalam ruang hidup ini pastilah terjadi pertukaran nilai dan pertukaran harta, sehingga pembangunan ruang akan membentuk tatanan nilai di tengah masayarakat. Arah pembangunan ruang dan infrastruktur dikendalikan oleh ideologi yang ada, dalam hal ini telah dimonopoli dan dikuasai oleh ideologi Kapitalisme.

Fikroh yang mendasari politik Kapitalisme yaitu sekulerisme, pemisahan antara agama dengan kehidupan yang terus disebarkan ke seluruh dunia. Adapun thoriqahnya adalah dengan penjajahan (imperialism), yaitu pemaksaan dominasi politik, militer, budaya, dan ekonomi atas bangsa-bangsa yang dikuasai untuk dieksploitasi. Thariqah ini bersifat tetap meskipun berganti rezim dan undang-undangnya. Sementara uslub-uslub untuk mewujudkan penjajahan dan pandangan terhadap penjajahan mengalami perkembangan. (Mafahim Siyasi)

Perkembangan teknologi yang sangat pesat hari ini menjadi akselator penjajahan yang dilakukan oleh para Kapitalis (pemilik modal) dengan monopoli pasar di seluruh dunia khususnya di negeri-negeri muslim yang notabene merupakan negeri terjajah. Disaat yang sama Kapitalisme juga menggempur generasi muslim dengan nilai-nilai mereka, yaitu hedonisme, materialisme, feminisme, dan racun-racun isme yang lain hingga membuat kaum muslimin jauh dari identitas muslimnya, bingung dalam membedakan mana yang benar dan salah karena sangat kabur pandangannya tentang kehidupan.

Gempuran budaya popular makin mandarah daging di berbagai belahan dunia. Pada awal perkembangannya di Eropa, Budaya Populer lebih banyak dimaknai sebagai budaya yang melekat dengan kehidupan masyarakat pada kelas sosial bawah, dimana menjadi pembeda dari budaya pada elite tertentu yang tinggi. Selain itu, Budaya populer juga sering kali identic dengan istilah ‘mass culture’ atau budaya massa, yang diciptakan serta dinikmati secara masal. Budaya Pop bersifat kontemporer, dimana budaya ini bisa berubah sewaktu- waktu dan muncul secara unik di berbagai tempat dan waktu yang berlainan, mengikuti perkembangan zaman, serta eksistensinya sedang berkembang baik di masyarakat. Dalam perkembangannya, budaya pop membentuk arus perputaran dalam kehidupan yang dinilai dapat mewakili suatu pandangan tentang suatu ketergantungan yang saling menguntungkan dalam lingkup yang relatif kompleks, serta memiliki nilai-nilai yang berpengaruh kuat pada masyarakat dan lembaga-lembaganya dengan beragam cara. Budaya Populer (Pop Culture) menurut Wikipedia yaitu meliputi budaya untuk konsumsi massa, khususnya bermula di Amerika Serikat, digunakan pada akhir Perang Dunia II. 

Hari ini kita berada dalam arus “Pop Culture” yang semakin pesat dengan masifnya media sosial. Namun sayangnya arus ini bernafaskan ideologi Kapitalisme, sehingga kumpulan ide-ide hedonisme, sekulerisme, pluralisme, materialisme, maupun feminisme ini menembus kehidupan kaum muslimin dan memberikan tantangan baru bagi para pemuda muslim. Pemuda muslim yang sudah terjun dalam dunia dakwah, berusaha untuk menyerang pemikiran bathil yang ada di tengah masyarakat harus bekerja keras dalam mengarungi arus desrupsi teknologi informasi dan kepungan budaya Pop ini. Kalangan da'i muda kreatif mendapat bursa pahala yang besar karena mereka memiliki skill kreativitas dalam membungkus konten dakwah untuk memaksimalkan jangkauan target dakwah. Di sisi lain mereka juga diintai bahaya popularitas karena ukuran keberhasilan dakwah seolah terhenti pada jumlah follower, subscriber atau like and share.  Wajar, karena popularitas telah menjadi standar kesuksesan baru dalam arus pop culture bahkan menjadi standar moral yang abu-abu atau tidak jelas, dan lebih bahayanya dijadikan kaki tangan oleh para Kapitalis secara tidak langsung. Naudzubillah.


Menjadi Digital Native Muslim yang Berintegritas

Islam diturunkan untuk membebaskan manusia dengan kemerdekaan yang hakiki. Kemerdekaan hakiki itu adalah terbebasnya manusia dari penghambaan kepada selain Allah SWT. Peradaban hari ini terbukti rusak dan gagal dalam membangun manusia, meskipun berbagai macam pembagunan fisik (materi) terlihat nyata. Menjadi generasi mahir teknologi tanpa mengemban ideologi Islam tentu akan menyesatkan dan merugikan. Maka para “digital native” muslim di akhir zaman ini butuh mencetak diri menjadi generasi yang berintegritas, generasi risalah. 

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” (QS. Ali Imron:110)

Menurut pandangan Umar bin Khattab, generasi risalah adalah generasi para sahabat dan generasi umat Islam secara umum yang memenuhi kualifikasi seperti pada QS. Ali Imron ayat 110 diatas. Mereka melakukan 3 hal, yaitu amar ma’ruf, nahi munkar, dan beriman kepada Allah SWT. Generasi risalah ini juga disebut dengan kualifikasi “muslih” oleh Imam Al-Ghazali, yaitu setingkat lebih baik daripada shalih. Shalih hanyalah berada pada level individu, sementara muslih melakukan perbaikan ditengah kerusakan. Menjadi muslih tentu lebih berisiko menerima penolakan, tidak disukai kebanyakan orang, tidak mendapat panggung, tidak eksis, dan lain sebagainya. Ketika kita melakukan aktivitas perbaikan di dunia nyata maupun maya, maka membutuhkan keikhlasan yang luar biasa, hanya mengharap ridho Allah saja, bukan lainnya.

Pertama, generasi muslim harus memiliki kematangan pengetahuan dan ilmu Islam yang menjadi landasan berpikir dalam kehidupan. Maka  hal ini tentu hanya  bisa didapatkan dan dikuatkan melalui pembinaan-pembinaan Islam intensif yang shahih (benar) hingga akhirnya terbentuk pola pikir dan pola sikap sesuai dengan Islam. Selanjutnya dengan ilmu dan pengetahuan Islam yang matang, generasi muslim tidak gagap dalam menghukumi banjirnya informasi dan fakta yang dikonsumsi setiap hari di media sosial, juga tidak hanyut dalam budaya pop yang semakin mendunia. 

Kedua, generasi muslim harus menguasai skill teknis yang berkaitan dengan teknologi sesuai dengan medan dakwahnya, misalnya peningkatan keahlian di bidang visual, audio, dan lain sebagainya. Hal ini digunakan sebagai wasilah (sarana) dalam mengemas pemikiran-pemikiran Islam agar bisa dipahami masyarakat dengan lebih mudah sehingga masyarakat mendapati bahwa Islam mampu menyelesaikan berbagai persoalan.

Ketiga, generasi muslim juga wajib memahami berbagai rambu-rambu syariat Islam di media sosial. Media sosial adalah ruang publik yang semua data kita bisa terbaca oleh sistem atau Big Data. Jangan sampai keberadaan dakwah di media justru membuat para da’i melakukan pelanggaran-pelanggaran, misalnya terjebak riba, khalwat, kata-kata kotor, atau hal-hal lain yang justru akan merusak esensi dakwah itu sendiri, dan tentunya akan menyebabkan dosa. Naudzubillah.

Semoga kita bisa melayakkan diri, menjadi “digital native” yang berintegritas dengan Islam hingga kelak Allah SWT memperkenankan kita menjadi bagian dari pemuda-pemuda yang dipersilakan bersemayam di surga-Nya. Aaamiin..

Wallahu ‘alam bisshowab

 Kenaikan ONH (Ongkos Naik Haji) Untuk Siapa?

Kenaikan ONH (Ongkos Naik Haji) Untuk Siapa?



Oleh. Sri Astutik Handayani


Naik-naik ke puncak gunung, makin tinggi tarif haji kian melambung. Baru-baru ini ongkos naik haji bakal naik dua kali lipat, ujar Kementerian Agama, mengusulkan rencana terkait kenaikan biaya haji di tahun 2023 ini. Usulan ini tentu bukan kabar baik buat calon jemaah haji. Lantas sebenarnya untuk siapa rencana ini akan diajukan?

Saat ini diisukan bahwa usulan pada ONH (ongkos naik haji) menjadi sorotan masyarakat, bukannya haji merupakan kewajiban untuk umat Islam yang mampu untuk menjalaninya. Jika terjadi kenaikan, sungguh hal ini sangat menyinggung

Dan sangat kapitalis untuk mencari keuntungan bagi pemerintah tersendiri. Kenaikan ini sangat tidak masuk akal umat, bahkan hal ini akan menyengsarakan umat dalam melaksanakan kewajiban menjalankan haji.

Sebelumnya, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengusulkan rerata kenaikan biaya perjalanan ibadah haji pada tahun ini atau periode 1444 Hijriah. Usul biaya haji ini disampaikan dalam rapat kerja bersama Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta PR.com (Kamis, 19/01/ 2023).

Ia mengusulkan rerata biaya haji pada tahun ini sebesar Rp69.193.733 per orang atau bila dibulatkan sebesar Rp69 juta. "Usulan ini atas pertimbangan untuk memenuhi prinsip keadilan dan keberlangsungan dana haji", kata Menteri Yaqut. "Formulasi ini juga telah melalui proses kajian."


Adapun biaya perjalanan ibadah haji tersebut mencakup 70 persen dari rata-rata biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang diusulkan Rp98.893.909 per orang atau sekitar Rp98 juta. Nilai BPIH yang diusulkan pada tahun ini naik Rp514.888 ketimbang tahun lalu karena ada perubahan signifikan dalam komposisinya.

Bila dibandingkan dengan tahun lalu, biaya haji 2023 yang dibebankan ke jemaah naik hampir dua kali lipat dari angka Rp39,8 juta. Ongkos naik haji ini juga bertambah ketimbang tahun 2018 hingga 2020 yang hanya mematok biaya Rp35 juta. Usulan ONH (ongkos naik haji) tersebut sangat tidak empati bahkan harus di tolak untuk di terapkan dalam sebuah aturan yang akan diterapkan mendatang.

 "Pernyataan ini  sangat menyakitkan, dan sangat tidak empatis, karena itu wajib untuk tidak disuarakan, wajib di tolak dan wajib di bedah," tutur ketua DPP PKS Bidang Teknologi, Industri dan Lingkungan Hidup. Dr H.Ali Mardani (24/01/23) YouTube Pusat Analisis Data.

Hal ini juga di sampaikan oleh anggota DPR Komisi Agama Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bukhori. Bukhori menyatakan PKS tidak hsepakat dengan usulan pemerintah tersebut.  

PKS menilai usulan menaikkan biaya haji 2023 menjadi Rp69 juta menyulitkan masyarakat bawah. Jika pun masyarakat akhirnya tetap setuju untuk berangkat, kata dia, mereka akan menggerutu. Apalagi, dia menyebut tahun-tahun sebelumnya jemaah haji Indonesia “dimanjakan” dengan bantuan dana subsidi. “Sementara tahun ini terjadi kenaikan sangat memberatkan. Itulah saya kira pertimbangan masyarakat,” Kantor DPP PKS, Tempo.Com Jakarta (Jumat, 20/01/ 2023).

Sungguh hal ini sangat miris dan menjadi keuntungan bagi pemerintah tersendiri dengan adanya program ongkos naik haji (ONH). Karena hal ini sangat menyulitkan bagi masyarakat yang dalam ukuran ekonomi kelas menengah ke bawah.

Seharusnya negara memberi tindakan atau usulan yang sekiranya tujuannya memberikan keringanan bagi umat Islam untuk pergi ibadah haji. Bahkan seharusnya lagi Haji ini tidak di rasionalisasi dan tidak di matematikakan.

Tujuan haji ini untuk membersihkan jasmani dan rohani bagi jiwa kita, lingkungan persaudaraan bahkan sosial Indonesia.  Tak rugi dan tak terbebani harusnya, jika pemerintah membantu masalah biaya keringanan masyarakat untuk pemberangkatan haji. Dan  tidak boleh berhitung-hitung dalam bab haji, karena hal ini merupakan kewajiban qath'i, tegas dan jelas bagi umat Islam. 

Menurut catatan sejarah menunjukkan betapa besar perhatian dan pelayanan yang diberikan para khalifah kepada jemaah haji dari berbagai negara. Mereka dilayani dengan sebaik-baiknya sebagai tamu-tamu Allah. Pelayanan itu dilakukan tanpa ada unsur bisnis, investasi atau mengambil keuntungan dari pelaksanaan ibadah haji. Semua merupakan kewajiban yang harus dijalankan negara.

Ada beberapa langkah yang dilakukan oleh Khilafah dalam melayani para jemaah haji ini. Pertama, Khalifah menunjuk pejabat khusus untuk memimpin dan mengelola pelaksanaan haji dengan sebaik-baiknya. Mereka dipilih dari orang-orang yang bertakwa dan cakap memimpin. Rasulullah saw, pernah menunjuk ‘Utab bin Asad, juga Abu Bakar ash-Shiddiq ra, untuk mengurus dan memimpin jemaah haji. Rasulullah saw Juga pernah memimpin langsung pelaksanaan ibadah haji pada saat haji wada’. Pada masa kekhilafahan Umar ra, pelaksanaan ibadah haji pernah diserahkan kepada Abdurrahman bin Auf ra. Ibadah haji juga pernah dipimpin oleh Khalifah Umar ra, hingga masa akhir kekhilafahannya. Pada masa Khalifah Utsman ra, pelaksanaan haji juga pernah dipimpin oleh Abdurrahman bin Auf ra.

Kedua, Jika negara harus menetapkan ONH (ongkos naik haji), maka nilainya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jemaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah-Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari Tanah Suci. Dalam penentuan ONH (ongkos naik haji) ini, paradigma negara Khilafah adalah syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus urusan jamaah haji dan umrah). Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi. 

Khilafah juga bisa membuka opsi: rute darat, laut dan udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang berbeda.

Ketiga, Khalifah berhak untuk mengatur kuota haji dan umrah. Dengan itu keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jemaah haji dan umrah. Dalam hal ini, Khalifah harus memperhatikan: (1) Kewajiban haji hanya berlaku sekali seumur hidup; (2) Kewajiban haji hanya berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Bagi calon jemaah yang belum pernah haji, sementara sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, maka mereka akan diprioritaskan. Dengan begitu antrian panjang haji akan bisa dipangkas karena hanya yang benar-benar mampu yang diutamakan.

Keempat, Khalifah akan menghapus visa haji dan umrah. Pasalnya, di dalam sistem Khilafah,kaum Muslim hakikatnya berada dalam satu kesatuan wilayah. Tidak tersekat-sekat oleh batas daerah dan negara, sebagaimana saat ini. Seluruh jemaah haji yang berasal dari berbagai penjuru dunia Islam bisa bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas, bisa KTP atau Paspor. Visa hanya berlaku untuk kaum Muslim yang menjadi warga negara kafir, baik kafir harbi hukm[an] maupun fi’l[an].

Kelima, Khalifah akan membangun berbagai sarana dan prasarana untuk kelancaran, ketertiban, keamanan dan kenyamanan para jemaah haji. Dengan begitu faktor-faktor teknis yang dapat mengganggu apalagi menghalangi pelaksanaan ibadah haji dapat disingkirkan sehingga istitha’ah amaniyah dapat tercapai.

Pembangunan sarana-prasarana haji mencakup sarana transportasi menuju Tanah Suci hingga tempat-tempat pelaksanaan ibadah haji seperti Masjidil Haram, Mina, Arafah, dan sebagainya. Semua itu dimaksudkan agar bisa menampung banyak jemaah serta dapat memberikan kemudahan dan kenyamanan beribadah.

Pada masa Khilafah Utsmaniyah, Sultan ‘Abdul Hamid II membangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji yang dikenal sebagai Hijaz railway. Jauh sebelum Khilafah Utsmaniyah, Khalifah ‘Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah), termasuk membangun saluran air yang menjamin jemaah haji tidak kekurangan air sepanjang perjalanan. Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum, yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal. Pembangunan saluran air bagi jemaah haji itu diinisiasi oleh istri Khalifah Harun ar-Rasyid yang bernama Zubayda. Diriwayatkan untuk proyek itu ia mengeluarkan uang hingga 1,7 juta dinar atau setara dengan tujuh triliun dua ratus dua puluh lima miliar rupiah.

Semua aktivitas khilafah dalam pengurusan haji itu dilakukan dengan prinsip ri’ayah (pelayanan), bukan bersifat komersil atau mengambil keuntungan dari jamaah. Berbeda dengan hari ini, pengurusan haji diurus oleh negara masing-masing tanpa ada kesatuan pelayanan karena tiada kesatuan kepemimpinan. Akibatnya, sering muncul konflik kepentingan dan kesemrawutan semisal pembagian kuota, komersialisasi hotel, tiket, katering, dsb.

Demikianlah keagungan pelayanan haji yang dilakukan oleh para khalifah. Mereka benar-benar berkhidmat melayani tamu-tamu Allah sesuai dengan syariah Islam. Tanpa pelayanan dari pemimpin yang bertumpu pada syariah, pelaksanaan ibadah haji sering terkendala, dan bukan tidak mungkin menjadi ajang mencari keuntungan bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Dalam Islam sangat jelas menyatakan haji merupakan sebuah kebutuhan dalam umat Islam untuk menjalani ibadah yang sempurna.  bahwasannya ada keutamaan menarik dari ibadah haji dengan keutamaan jihad,sebagaimana Baginda Nabi Saw pernah bersabda dalam hadis :

وفد الله ثلثة : الغا ز ي، و الحا ج، و المعتمر

"Duta Allah itu ada tiga : orang yang terlibat dalam perang (di jalan Allah), orang yang beribadah haji dan orang yang berumrah. (HR. Al-Hakim dan Al- Baihaqi).

 Yang setara dalam jihad ada sebuah hadis menyatakan bahwa :

ا فضل الجها د كلمة حق عند سلطا ن خا ءر

"Jihad yang paling utama adalah menyatakan kebenaran di hadapan penguasa yang lalim." (HR. at-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Dalam hal ini seharusnya negara memfasilitasi pelayanan segala kebutuhan jemaah haji dengan keringanan biaya,kenyamanan trasportasi dan lain-lain.

Semua ini terlaksana jika negara mengikuti sistem Islam secara kaffah, yang didalamnya mampu untuk mengikuti peraturan yang syariah lebih mengutamakan suara rakyat untuk menetapkan sebagai usulan dan tindakan apapun. 


Wallahu'alam bishowwab.


 2022 Angka Dispensasi Nikah di Jember Membludak, Waspada Azab Zina!

2022 Angka Dispensasi Nikah di Jember Membludak, Waspada Azab Zina!



Oleh:

Ayu Fitria Hasanah S.Pd

(Pemerhati pendidikan dan sosial politik)


Innalillahi wa innailahi roji’un. Jember sepanjang tahun lalu diwarnai dengan kasus yang menjadi salah satu dosa besar, yaitu zina. Hal ini tampak jelas dari keterangan  juru bicara PA Jember, Raharjo, ia mengatakan selama tahun 2022 telah menangani 1.364 perkara tentang dispensasi nikah. Pengajuan itu mayoritas harus dipenuhi oleh PA Jember lantaran telah terjalin hubungan asmara sebelumnya (radarjember, 21/01/23).


Kasus ini membuktikan: 

1) Banyaknya pelanggaran/kemaksiatan besar yang terjadi khususnya di tengah generasi, 

2) Hilangnya kehormatan kaum muslim khususnya di Jember karena tak mampu menjaga kehormatan dan akhlak generasi muslim, 

3) Kebodohan dalam pengendalian atau kontrol diri karena minimnya ilmu tentang hakikat naluri seksual, 

4) Rusaknya pandangan dan interaksi antara laki-laki dan perempuan karena bebas dan tidak ada batasan-btasan syariah, 

5) Banyaknya pemikiran/fakta yang merangsang dan mendorong generasi ke arah kebebasan seksual baik dari tontonan atau kebiasaan buruk yang ada di lingkungan masyarakat, 

6) Tidak adanya penetapan bahwa zina (meski atas persetujuan/suka sama suka) adalah kriminal yang harus dikenai sanksi yang membuat jera dan mampu mencegah agar tak terjadi kembali.


Lantas, bagaimana merespon persoalan ini? Sudah sepatutnya ada tanggung jawab bersama bagi seluruh elemen masyarakat untuk menyikapi secara bijak perkara ini. Berupaya serius melakukan perbaikan untuk mengehentikan perilaku biadab ini. Terutama bagi kaum muslim, maka harus ada kesadaran bahwa ada fitnah dosa/maksiat besar di sekitar kita, yakni merajalelanya perilaku zina. 


Allâh berfirman “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. [al-Isrâ’/17: 32]. Dalam ayat ini Allah memberitakan kejinya perbuatan zina. Keji adalah keburukan yang sudah mencapai puncaknya, sehingga kejinya itu sesuatu yang telah pasti menurut akal. Kemudian Allâh juga memberitakan akibat zina di kalangan masyarakat manusia, yaitu zina adalah jalan yang buruk. Karena zina adalah jalan kebinasaan dan kemiskinan di dunia serta jalan siksaan dan kehinaan di akhirat. 


Bahkan Nabi Muhammad SAW juga memperingatkan para sahabatnya bahwa zina akan menyebabkan berbagai bencana dan penyakit. Beliau bersabda “Tidaklah perbuatan keji (zina) dilakukan pada suatu masyarakat dengan terang-terangan, kecuali akan tersebar wabah penyakit tho’un (penyakit mematikan) dan penyakit-penyakit lainnya yang tidak ada pada orang-orang dahulu yang telah lewat”. [HR. Ibnu Mâjah, no: 4019; al-Bazzar; al-Baihaqi; dari Ibnu Umar. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahîhah, no: 106; Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb, no: 764; penerbit: Maktabah al-Ma’arif].


Karena itu, penting bagi seluruh elemen masyarakat untuk berpikir dan peduli terhadap penyebab masalah maraknya perilaku zina ini dan merumuskan solusi apa yang harus diwujudkan untuk menyelesaikannya. Sesungguhnya masalah ini adalah akibat dari adanya banyak sebab, yakni : Pertama,  tidak adanya ilmu tetang konsep  naluri seksual yang sohih berdasarkan pemikiran aqidah Islam, sebaliknya generasi justru massif disuguhi konsep seks ala Barat yang mengkategorikan seks sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi. Bahkan Barat melalui liberalisasi medianya banyak mengajarkan cara pemenuhan seksual yang salah yakni dengan zina, seperti one night stand, friend with benefit, ataupun kampanye seks sehat (penggunaan kondom). Padahal dalam Islam naluri seksual adalah naluri yang bila tidak dipenuhi tidak menyebabkan kematian, artinya tidak harus dipenuhi dan telah ada cara yang benar untuk memenuhinya yakni dengan pernikahan, bila tidak mampu menikah dianjurkan berpuasa, atau mengalihkan energi positif kepada hal produktif (ibadah) yang lain.


Kedua, tidak ada pengaturan interaksi laki-laki dan perempuan sebagaimana yang diperintahkan Allah, seperti larangan berkhalwat, berikhtilat, larangan membuka aurat, hari ini semua itu justru menjadi hal yang biasa di tengah masyarakat. Budaya pacaran yang diamini oleh masyarakat secara umum, ikhtilat atau campur baur laki-laki dan perempuan yang dianggap hal lumrah bahkan menjadi hal asyik ditengah generasi. Gaya hidup atau kebiasaan non Islam inilah yang menjadi biang kacaunya hubungan/interaksi laki-laki dan perempuan yang semakin berorientasi pada seks semata. 


Ketiga, Tidak adanya sanksi tepat bagi pelaku zina, sanksi sebagaimana yang diperintahkan Allah yang bersifat zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus dosa) seperti dera bagi pelaku zina yang belum menikah. Justru hari ini ketika dilakukan atas suka sama suka tidak dikatgorikan sebagai kriminal, ini sama halnya mempersilahkan kemaksiatan. 


Oleh sebab itu,  dibutuhkan adanya pendidikan yang berbasis aqidah Islam, penerapan aturan pergaulan laki-laki dan perempuan dalam Islam, serta penerapan sanksi dalam Islam. Ini semua dapat direalisasikan hanya dengan adanya sistem pemerintahan Islam yang mampu menerapkan peraturan Islam secara kaffah (menyeluruh). Kaum muslim hendaknya bersama-bersama mengupayakan terwujudnya peraturan Islam secara menyeluruh dalam kehidupan mereka dengan penuh semangat dan mengaharap ridho Allah.


Kriminalitas Anak Bukti Negara Lalai

Kriminalitas Anak Bukti Negara Lalai


Oleh. R. Raraswati

(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)


Memilukan, pembunuhan seorang anak berusia 11 tahun dilatarbelakangi keinginan meraih harta melimpah. Dua orang tersangka yang masih remaja seolah hilang nurani, mereka tega menghilangkan nyawa teman bermain demi meraih materi. Mirisnya lagi, tersangka mengaku terobsesi untuk kaya dengan uang miliaran setelah melihat konten tentang jual beli organ tubuh di situs internet luar negeri (Republika.co.id 14/1/2023).

Miris, hanya karena ingin kaya dua remaja tersebut merencanakan pembunuhan, kemudian menjual ginjalnya. Namun, sayangnya setelah temannya meninggal, mereka justru tidak mengerti bagaimana mengambil ginjalnya. Akhirnya mayat korban mereka buang begitu saja tanpa hasil apapun.

Perbuatan dua remaja tersebut merupakan tindakan kriminal dengan pembunuhan terencana. Dorongan pembunuhan dan rencana mengambil serta menjual ginjalnya merupakan gambaran kehidupan saat ini, khususnya di Indonesia. Sistem kapitalisme yang telah memengaruhi pemikiran masyarakat mendorong siapa pun untuk meraup materi sebanyak mungkin dengan segala cara. Kenapa demikian? Karena sistem kapitalis berasaskan manfaat, keuntungan materi atau finansial dan kebebasan berperilaku.

Kehidupan remaja pada sistem ini seolah memiliki tuntutan khusus. Mereka terdorong untuk memiliki apa saja yang dimiliki orang lain. Gaya hidup konsumtif dan hedonis terus membudaya. Hal ini menjadikan mereka kehilangan arah tujuan hidup yang sesungguhnya sebagaimana Allah harapkan dalam Al-Qur’an Surah Az Zariyat ayat 56 bahwasannya diciptakannya manusia dan jin agar beribadah kepada Allah SWT. Jadilah mereka remaja yang tidak paham kehidupan dan mudah melakukan kesalahan termasuk membunuh.

Manusia memiliki naluri eksisensi (baqa’) yang memang sudah menjadi fitrah yang Allah berikan. Begitu pula dengan dua remaja yang nalurinya muncul dan menggebu ketika ada rangsangan dari luar (lingkungan). Semua itu tidak terlepas dari pengaruh sistem kapitalisme yang menjadikan materi, kekayaan dan kemewahan sebagai ukuran kebahagiaan dan kesuksesan. Alhasil, eksistensi masyarakat bergejolak dan fatalnya berusaha memenuhinya dengan cara yang salah.

Padahal, naluri eksistensi ini hanya akan menimbulkan kegelisahan, jika tidak dipenuhi. Tidak sampai mengakibatkan kematian. Pemenuhan naluri yang salah dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah kurangnya kontrol, baik secara individu, keluarga, masyarakat, ataupun negara.

Kontrol individu, merupakan kemampuan seseorang dalam memutuskan suatu perkara sesuai pemahamannya. Manusia dibekali akal untuk berpikir dan memilih yang benar dan yang salah. Sesorang yang berbuat kesalahan berarti telah kehilangan kemampuan akal dan tidak mampu berpikir benar.

Di sisi lain, kontrol individu bisa hilang karena tipis atau bahkan tidak adanya keimanan. Lemahnya keimanan seseorang dapat memengaruhi pemahamannya. Sedangkan keimanan sendiri tidak bisa lepas dari agama. Ajaran agamalah yang akan memberi petunjuk tentang benar dan salah menurut Allah Sang Pencipta sekaligus Sang Pemelihara kehidupan. Kalau sampai ada yang tidak memahami hal ini, kemungkinan dia telah meninggalkan serta menanggalkan agama sebagai kontrolnya.

Sejatinya kontrol individu tidak lepas juga dari keluarga. Pengasuhan dan pendidikan anak dalam keluarga sangat memengaruhi tumbuh kembang anak, secara fisik, perilaku, dan akalnya hingga mereka memasuki usia baligh. Keluarga merupakan tempat untuk menanamkan keimanan anak sejak dini. Sayang, keluarga di zaman sekarang kurang berfungsi sebagaimana harusnya. Sekularisme liberalis, telah pemisahan agama dari kehidupan dan menjunjung tinggi kebebasan menjunjung tinggi kebebasan telah meracuni keluarga kaum muslim. Hasilnya, banyak anak yang kurang kontrol.

Ketika kontrol individu dan keluarga telah terlaksana, berikutnya adalah peran masyarakat tak kalah pentingnya. Kepekaan dan kepedulian masyarakat dalam amar makruf nahi mungkar sangat penting. Namun, lagi-lagi individualisme dan sekularisme membuat banyak masyarakat tidak peduli dengan perannya sebagai makhluk sosial dan kewajibannya sebagai hamba Allah.

Kontrol yang terakhir adalah peran negara. Negara memiliki kemampuan dan kekuatan untuk menerapkan kebijakan secara global. Jika negara memberlakukan suatu kebijakan, maka masyarakat akan melaksanakannya. Masalahnya, kebijakan tersebut sesuai syariat Islam atau justru berlawanan?

Kurikulum pendidikan dan makin berkembangnya teknologi mestinya menjadi tugas negara. Sayangnya  kurikulum pendidikan di negeri ini sangat mudah berganti. Sementara teknologi berkembang sangat pesat, namun tidak diimbangi dengan edukasi yang terkesan amat lambat. Di sisi sistem sanksi, juga masih terlihat bisa dikompromi.

Maka, menjadi alarm bagi semua pihak, terutama orang tua agar senantiasa mewaspada adanya  kriminalitas anak. Masyarakat, kaum Muslim (khususnya)  harus segera meninggalkan sistem kapitalisme-liberalisme yang dan merusak hingga banyaknya kriminalitas.


Allahu a’alm bish showab

Waspada dan Hentikan Predator Anak

Waspada dan Hentikan Predator Anak

 


Penulis: R. Raraswati
(Aktivis Muslimah Peduli GenerasiI)


Berawal dari keberanian seorang korban yang mengaku kepada orang tuanya, muncullah pengakuan anak lainnya hingga terungkap kasus pencabulan dengan dugaan pelaku merupakan oknum guru ngaji,  Batang-Jawa Tengah (cnnindonesia.com,9/1/2023). Tentu ini menambah daftar predator anak di Indonesia. 

Di tempat lain, seorang dosen berinisial FBS telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pelecehan seksual kepada anak laki-laki usia 13 tahun. Kasus dugaan pelecehan seksual terjadi di dalam toilet, keberangkatan domestik, Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali, pada hari Rabu (4/1),  (cnnindonesia, 10/1/2023). Miris, pelaku seringkali orang terdekat korban dan dari kalangan intelektual.
 
Dua kasus di atas hanya sebagian yang terkuak. Kemungkinan masih banyak lagi peristiwa serupa yang masih belum terungkap. Semakin maraknya kasus pelecehan seksual ini mengharuskan masyarakat lebih waspada terhadap siapa saja termasuk orang terdekat bahkan kaum intelektual. Tidak terkecuali guru sekolah, guru ngaji, dosen atau apapun itu memungkinkan sebagai pelaku. Pasalnya mereka juga manusia yang memiliki naluri nau’ (kasih sayang dan mencintai). Namun, jika naluri ini bisa dikendalikan dengan benar sesuai syariat Islam, tentu tidak akan terjadi penyimpangan.

Kurangnya Akidah
Paham dan pintar saja tidak cukup membuat seseorang tergelincir pada dosa pelecehan seksual, jika tidak ada akidah yang benar. Ruh (kesadaran akan hubungannya dengan Allah) yang tidak tertanam kuat menimbulkan hilangnya rasa takut kepada Sang Maha Melihat. Pelaku tidak merasa diawasi Allah, sehingga bebas melakukan perbuatan niradab. 

Akidah atau keimanan sendiri tidak terlepas dari penerapan sistem kehidupan sekuler liberal. Pada sistem ini, memungkinkan keimanan seseorang mudah pudar. Agama (Islam) tidak dijadikan pedoman hidup. hasilnya, para pelaku kejahatan tidak merasa takut dengan hisab dan sanksi yang berat.

Selain itu, teknologi bagaikan pisau bermata dua yang berfungsi untuk kebaikan dan kejahatan. Sebagai contoh, kemudahan-kemudahan informasi melalui smart phone juga bisa meningkatkan perekonomian masyarakat. Sekarang, banyak transaksi yang dilakukan hanya dengan HP. Penyebaran ilmu pengetahuan juga begitu cepat dan mudah lewat HP. Pun demikian, maraknya kasus cyber crime, perundungan, prostitusi online hingga tontonan porno yang merangsang syahwat buruk pelaku.
 
Kehidupan serba bebas seolah tanpa batas menjadikan peran negara sebagai pengontrol informasi kian melemah. Belum lagi meningkatnya produksi film berbau liberal yang mengajarkan seks bebas, perilaku maksiat seperti pacaran, zina, dll.  Ditambah lagi pikiran kapitalistik yang membuat pengusaha memanfaat keadaan untuk meraup keuntungan sebanyak mungkin. Kondisi ini menjadikan negara seolah lebih condong memihak para pengusaha (khususnya produsen film) tersebut meski harus mengorbankan rakyatnya.

Sistem sanksi di Indonesia yang tidak tegas turut andil penyebab meningkatnya kasus serupa. Tidak ada efek jera bagi pelaku dan munculnya sikap meremehkan bagi orang lain yang berpotensi meniru pelaku. Memang, negara telah memiliki payung hukum dalam upaya melindungi anak dari kejahatan seksual. Namun, undang-undang tersebut terlihat tidak ada pengaruhnya terhadap pelaku predator anak. Hukumannya belum memberikan efek jera bagi pelaku, meski sampai ada ancaman kebiri bahkan mati. Kenapa demikian? Karena semua hukuman tersebut tidak bisa dilaksanakan sebagai akibat dibenturkan dengan HAM.

Langkah Strategis Hentikan Predator Anak
Islam mengatur semua lini kehidupan manusia. Oleh karena itu, pencegahan adanya predator anak yang bisa dilakukan adalah menerapkan sistem Islam secara kafah (menyeluruh). Sedangkan tindakan penanganan bagi pelakunya harus melalui sistem sanksi Islam. Secara rinci, berikut langkah strategis untuk menghentikan predator anak:

Pertama, negara harus menerapkan sistem sosial dan pergaulan sesuai hukum syarak. Untuk menjaga pergaulan di lingkungan wajib mengikuti syariat Islam. Diantaranya adalah menutup aurat secara syar’i, larangan berkhalwat (berduaan dengan nonmahram) dan ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan), larangan berzina, dilarang tabaruz dan lain sebagainya.
 
Kedua, bentuk lembaga khusus untuk mengontrol media dan informasi dengan menyaring setiap konten yang akan tayang. Konten yang melanggar syariat Islam seperti pornografi, film berbau sekuler liberal, tayangan menyeru kemaksiatan, dan perbuatan apa saja yang merusak moral harus dilarang tayang.

Ketiga, menjalankan sanksi yang tegas dengan hukuman sesuai kadar kejahatannya menurut syariat Islam. 

Keempat, menerapkan pendidikan berlandaskan akidah Islam. Kurikulum pendidikan, media pembelajaran, dan prosesnya mengacu pada Islam. Dengan demikian, anak memiliki akidah yang kuat. Adanya sinergis sekolah dengan orang tua dalam mendidik anak. Masyarakat dan tokohnya melakukan amar makruf nahi mungkar, saling menasihati dalam kebaikan, dan mengingatkan sesama.

Kelima, lakukan langkah ideologi dengan mengganti sistem sekuler menjadi sistem Islam kaffah. Langkah ini bisa dilakukan melalui pembinaan terhadap pemikiran dan pemahaman secara rutin tentang Islam sebagai solusi kehidupan. Dengan demikian, masyarakat memahami penting dan butuhnya sistem Islam untuk melindungi anak dan generasi dari predator anak dan kejahatan lainnya. 

Allahu a'lam bish ashowab
Stop Tradisi Yang Tak Syar’i

Stop Tradisi Yang Tak Syar’i

 



Oleh: R. Raraswati

(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)

  

Beredarnya video qoriah disawer sejumlah lelaki saat sedang melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dalam sebuah acara peringatan Maulid Nabi di Pandeglang, Banten, menguak fakta yang tak sesuai ajaran Islam. Bahkan, ada laki-laki yang menyelipkan uang di kerudung sang qoriah menuai kecaman. Kali ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut bersuara. Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah Cholil Nafis menyatakan aksi tersebut termasuk haram dan melanggar nilai kesopanan. (news.detik.com, 05/01/23).

 

Mirisnya, sawer terhadap pembaca Al-Qur’an sudah menjadi tradisi di tempat tertentu. Seperti unggahan video disebuah akun Twitter yang memperlihatkan seorang qoriah dan seorang qori laki-laki yang disawer ketika membaca Al-Qur’an. Qori tersebut hanya bisa menghela napas ketika ada pria menyelipkan beberapa lembar uang ke pecinya. Tampak sang qori tidak nyaman, terlebih jemaah lain justru bersorak melihat adegan saweran tersebut. (suara.com, 06/01/23)

 

Jelas, kejadian ini mengundang kehebohan di masyarakat. Sejumlah masyarakat dan tokoh agama dari berbagai lembaga pun mengecamnya. Meski berdalih mengapresiasi, perbuatan nyawer seperti itu, sejatinya termasuk tindakan tidak terpuji.  Ini termasuk pelecehan, menghargai diri seseorang dengan uang recehan, dan merusak kesakralan pembacaan Al-Qur’an. 

 

Sawer bagi Qori/Qoriah Lumrah Pada Sistem "Bubrah"

Sampai sekarang, saweran seakan menjadi tradisi di sistem “bubrah”. Bukan hanya pada panggung musik dangdut dan campursari, aksi ini dilakukan saat qori/qoriah mengaji ternyata sering terjadi. Berawal dari pengakuan Ustazah Nadia Hawasyi yang tidak nyaman ketika disawer saat mengaji, terkuak kenyataan serupa telah sering terjadi pada qori lain.

 

Aksi ini cermin kerusakan akhlak umat Islam yang nyata di sistem negara +62. Kemaksiatan diperlihatkan di depan mata, namun masyarakat setempat mendiamkan bahkan menjadikannya tradisi yang dibudayakan. Miris, mengiris hati.

 

Tradisi salah kaprah semacam ini bisa terjadi karena beberapa faktor:

Pertama, minimnya keimanan dan takwa serta merosotnya akhlak para pelaku sawer. Individu tanpa pembinaan kepribadian, cenderung tidak memiliki rasa malu saat berubuat maksiat. Bahkan tidak mempunyai rasa takut pada Allah SWT karena tak menganggap itu perbuatan dosa. Ia hanya mengejar kesenangan dan kebanggaan. 

 

Selain itu, sawer bagi qori/qoriah menunjukkan jauhnya dari pemahaman agama Islam. Seharusnya sebagai muslim memahami bahwa amal baik itu berdasarkan niat ikhlas dan cara baik sesuai syariat. Meski berdalih mengapresiasi, menghargai, menghadiahi kepada qariah, namun jika caranya salah, justru menjadi perbuatan tercela.

 

Kedua, disfungsi keluarga sebagai tempat pendidikan utama, sehingga melahirkan individu niradab. Kemungkinan orang tua yang kurang maksimal mendidik dan membersamai anak dalam suasana iman dan takwa menghasilkan sosok yang tak tahu adab. 

 

Ketiga, abainya masyarakat terhadap kewajiban amar makruf nahi mungkar. Hal ini terlihat dari aksi sawer bagi qoriah yang seolah dibiarkan terjadi, padahal terdapat tokoh agama yang hadir. Terkesan tidak peduli dengan kemaksiatan di depan mata mereka. Ini menunjukkan ketakutan para tokoh dalam beramar makruf nahi mungkar. Padahal Allah SWT dan Rasulullah memerintahkan, jika melihat kezaliman atau kemungkaran, wajib berusaha mencegahnya menggunakan tangan, lisan, dan hati (yaitu mengingkari, berdoa).

 

Keempat, sistem hidup sekularisme liberal yang diterapkan negara. Walaupun penduduk mayoritas Muslim, namun negeri ini jauh dari hukum Islam dan justru memilih hukum buatan manusia sendiri.  Akibatnya, masyarakat jauh dari agama dan cenderung mengikuti hawa nafsu belaka.

 

Dalam sistem hidup "bubrah", aksi sawer terhadap qori/qoriah seolah lumrah. Begitu pula jenis kemaksiatan atau kemungkaran lain kian merajalela.

 

Itulah penyebab sawer yang dianggap lumrah di sistem “bubrah”. Penyebabnya kompleks dan berujung pada tidak diterapkannya aturan Allah, baik pada tataran individu, keluarga, masyarakat, dan negara. Benarlah firman Allah jika Islam tidak diterapkan, maka manusia dan negara akan jauh dari rahmat-Nya.

 

Dampak Tradisi Yang Tak Syari’

Sawer untuk qoriah bisa berdampak buruk terhadap marwah Islam, khususnya pada Al-Qur'an yang tengah dibaca serta sosok Muslimah sebagai pembacanya. Dampak yang mungkin terjadi antara lain: 

Pertama, mengurangi bahkan menghapus kesakralan pembacaan ayat-ayat Al-Qur'an. Suasana sakral, khusyuk dan religius dalam aktivitas ibadah hilang berganti dengan sorak riuh, tak ubahnya panggung musik dangdut. 

 

Kedua, pelecehan terhadap Al-Qur'an yang demi menjaga kemuliaannya, Islam menggariskan bagi pembacanya untuk membaca secara tartil. Demikian pula bagi pendengarnya, agar menyimak dengan khusyuk dan hikmat. Aksi sawer jelas menyalahi adab-adab memuliakan tersebut. 

 

Ketiga, membangun persepsi buruk tentang sosok qori/qoriah di kalangan masyarakat. Para qori/qoriah seolah tidak berbeda dengan penyanyi yang biasa menerima saweran. Terkesan materialistik, menjual agama demi lembaran rupiah. Marwah mereka sebagai penjaga Al-Qur'an seolah lenyap dan rendah.

 

Keempat, tidak terjaganya marwah Islam. Secara umum agama Islam tidak lagi dihormati. Masyarakat terjebak pada acara seremonial saja tanpa makna. Agama Islam justru dirusak dalam acara keagamaan. Mirisnya lagi, yang pelakunya justru dari umat Islam sendiri.

 

Maka, jika tradisi sawer terhadap qori/qoriah dibiarkan terus terjadi bahkan dianggap sebagai tradisi, dimungkinkan akan menurunkan marwah agama Islam secara umum, Al-Qur'an, qori/qoriah, dan kaum Muslimah. Maka kecaman MUI pusat dan koordinasi dengan MUI daerah untuk melakukan pembinaan, serta meminta klarifikasi atas aksi tersebut, layak mendapat apresiasi.

 

Hukuman Atas Kemaksiatan

Untuk menumbuhkan efek jera bagi pelaku kemaksiatan dan masyarakat, penyawer qori/qoriah hendaknya mendapat hukuman dengan tuduhan penistaan terhadap agama. Atau setidaknya meminta pelaku untuk menyampaikan permohonan maaf secara terbuka kepada sang qori/qoriah, MUI, dan umat Islam pada umumnya.

 

Penghargaan Kepada Qori/Qoriah Tanpa Merendahkan Marwah

Aksi sawer terhadap qori/qoriah, bisa jadi niat baik penyawernya sebagai respon terhadap indahnya bacaan Al-Qur'an yang didengar. Di suatu daerah mungkin itu hal biasa, namun tetap saja tindakan tersebut tidak sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an yang mensyariatkan untuk mendengar bacaannya secara seksama dan penuh khusyuk. 

 

Dengan demikian, hendaknya masyarakat memperhatikan cara pemberian penghargaan kepada qori/qoriah tanpa merendahkan marwahnya:  

Pertama, sebaik-baik penghargaan kepada pembaca Al-Qur'an adalah mendengarkannya dengan khusyuk dan hikmat. Memperhatikan pembacaan Al-Qur'an merupakan hal penting, sebagaimana firman Allah SWT. QS. Al A'raf: 204,  yang jika dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. Selain itu, mendengarkan Al-Qur'an dengan khusyuk akan menambah keimanan. 

 

Kedua, merespons ayat Al-Qur’an yang telah dibaca dengan mengucapkan kalimat-kalimat yang baik semisal menyebut asma Allah. Bahkan jika ada pembacaan ayat sajdah disunnahkan untuk sujud tilawah dengan harapan akan lebih mengingatkan manusia pada Allah SWT, sebagai Pencipta sekaligus Pengatur kehidupan. 

 

Ketiga, memberikan penghargaan kepada qori/qoriah usai pembacaan Al-Qur'an. Sejatinya, memberikan apresiasi dalam bentuk apapun karena kekaguman terhadap lantunan ayat suci Al-Quran yang dibacakan qori/qoriah boleh saja. Namun lebih baik diperhatikan waktu pemberian, agar tidak mengurangi kekhidmatan pembacanya dan tidak mengganggu orang yang mendengarkannya. 

 

Keempat, penghargaan tidak diberikan karena maksud pamer. Sebaiknya diberikan karena ikhlas, semata mencari ridha Allah dan sebagai bentuk apresiasi terhadap orang yang menjaga Al-Qur’an.

 

Kelima, memberikan apresiasi kepada qori/qoriah dengan cara sopan (sesuai syariat). Jangan terkesan sembarangan bahkan menjurus ke haram karena berinteraksi fisik dengan yang bukan mahramnya. 

 

Keenam, jika terjadi aksi sawer terhadap qori/qoriah, hendaknya panitia acara segera menghentikannya karena tindakan tersebut termasuk melecehkan Al-Qur'an.

 

Demikian beberapa cara untuk memberikan penghargaan kepada qori/qoriah tanpa merendahkan marwahnya. Mereka patut dihargai dan dijaga kemuliaannya sebagaimana upaya mereka memperdengarkan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai syiar Islam dan sarana hidayah bagi manusia. Semoga dengan kejadian ini, tidak ada lagi tradisi yang tidak sesuai syariat Islam.

Allahu a’lam bish showab.