Kriminalitas Anak Bukti Negara Lalai


Oleh. R. Raraswati

(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)


Memilukan, pembunuhan seorang anak berusia 11 tahun dilatarbelakangi keinginan meraih harta melimpah. Dua orang tersangka yang masih remaja seolah hilang nurani, mereka tega menghilangkan nyawa teman bermain demi meraih materi. Mirisnya lagi, tersangka mengaku terobsesi untuk kaya dengan uang miliaran setelah melihat konten tentang jual beli organ tubuh di situs internet luar negeri (Republika.co.id 14/1/2023).

Miris, hanya karena ingin kaya dua remaja tersebut merencanakan pembunuhan, kemudian menjual ginjalnya. Namun, sayangnya setelah temannya meninggal, mereka justru tidak mengerti bagaimana mengambil ginjalnya. Akhirnya mayat korban mereka buang begitu saja tanpa hasil apapun.

Perbuatan dua remaja tersebut merupakan tindakan kriminal dengan pembunuhan terencana. Dorongan pembunuhan dan rencana mengambil serta menjual ginjalnya merupakan gambaran kehidupan saat ini, khususnya di Indonesia. Sistem kapitalisme yang telah memengaruhi pemikiran masyarakat mendorong siapa pun untuk meraup materi sebanyak mungkin dengan segala cara. Kenapa demikian? Karena sistem kapitalis berasaskan manfaat, keuntungan materi atau finansial dan kebebasan berperilaku.

Kehidupan remaja pada sistem ini seolah memiliki tuntutan khusus. Mereka terdorong untuk memiliki apa saja yang dimiliki orang lain. Gaya hidup konsumtif dan hedonis terus membudaya. Hal ini menjadikan mereka kehilangan arah tujuan hidup yang sesungguhnya sebagaimana Allah harapkan dalam Al-Qur’an Surah Az Zariyat ayat 56 bahwasannya diciptakannya manusia dan jin agar beribadah kepada Allah SWT. Jadilah mereka remaja yang tidak paham kehidupan dan mudah melakukan kesalahan termasuk membunuh.

Manusia memiliki naluri eksisensi (baqa’) yang memang sudah menjadi fitrah yang Allah berikan. Begitu pula dengan dua remaja yang nalurinya muncul dan menggebu ketika ada rangsangan dari luar (lingkungan). Semua itu tidak terlepas dari pengaruh sistem kapitalisme yang menjadikan materi, kekayaan dan kemewahan sebagai ukuran kebahagiaan dan kesuksesan. Alhasil, eksistensi masyarakat bergejolak dan fatalnya berusaha memenuhinya dengan cara yang salah.

Padahal, naluri eksistensi ini hanya akan menimbulkan kegelisahan, jika tidak dipenuhi. Tidak sampai mengakibatkan kematian. Pemenuhan naluri yang salah dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah kurangnya kontrol, baik secara individu, keluarga, masyarakat, ataupun negara.

Kontrol individu, merupakan kemampuan seseorang dalam memutuskan suatu perkara sesuai pemahamannya. Manusia dibekali akal untuk berpikir dan memilih yang benar dan yang salah. Sesorang yang berbuat kesalahan berarti telah kehilangan kemampuan akal dan tidak mampu berpikir benar.

Di sisi lain, kontrol individu bisa hilang karena tipis atau bahkan tidak adanya keimanan. Lemahnya keimanan seseorang dapat memengaruhi pemahamannya. Sedangkan keimanan sendiri tidak bisa lepas dari agama. Ajaran agamalah yang akan memberi petunjuk tentang benar dan salah menurut Allah Sang Pencipta sekaligus Sang Pemelihara kehidupan. Kalau sampai ada yang tidak memahami hal ini, kemungkinan dia telah meninggalkan serta menanggalkan agama sebagai kontrolnya.

Sejatinya kontrol individu tidak lepas juga dari keluarga. Pengasuhan dan pendidikan anak dalam keluarga sangat memengaruhi tumbuh kembang anak, secara fisik, perilaku, dan akalnya hingga mereka memasuki usia baligh. Keluarga merupakan tempat untuk menanamkan keimanan anak sejak dini. Sayang, keluarga di zaman sekarang kurang berfungsi sebagaimana harusnya. Sekularisme liberalis, telah pemisahan agama dari kehidupan dan menjunjung tinggi kebebasan menjunjung tinggi kebebasan telah meracuni keluarga kaum muslim. Hasilnya, banyak anak yang kurang kontrol.

Ketika kontrol individu dan keluarga telah terlaksana, berikutnya adalah peran masyarakat tak kalah pentingnya. Kepekaan dan kepedulian masyarakat dalam amar makruf nahi mungkar sangat penting. Namun, lagi-lagi individualisme dan sekularisme membuat banyak masyarakat tidak peduli dengan perannya sebagai makhluk sosial dan kewajibannya sebagai hamba Allah.

Kontrol yang terakhir adalah peran negara. Negara memiliki kemampuan dan kekuatan untuk menerapkan kebijakan secara global. Jika negara memberlakukan suatu kebijakan, maka masyarakat akan melaksanakannya. Masalahnya, kebijakan tersebut sesuai syariat Islam atau justru berlawanan?

Kurikulum pendidikan dan makin berkembangnya teknologi mestinya menjadi tugas negara. Sayangnya  kurikulum pendidikan di negeri ini sangat mudah berganti. Sementara teknologi berkembang sangat pesat, namun tidak diimbangi dengan edukasi yang terkesan amat lambat. Di sisi sistem sanksi, juga masih terlihat bisa dikompromi.

Maka, menjadi alarm bagi semua pihak, terutama orang tua agar senantiasa mewaspada adanya  kriminalitas anak. Masyarakat, kaum Muslim (khususnya)  harus segera meninggalkan sistem kapitalisme-liberalisme yang dan merusak hingga banyaknya kriminalitas.


Allahu a’alm bish showab

0 Comments

Posting Komentar